Jakarta, Vox NTT-Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia dan Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (KOMPAK) Indonesia meminta agar jaksa dan hakim diperiksa seputar kasus dugaan mafia tanah di DKI Jakarta.
Ketua Dewan Pembina PADMA Indonesia Gabriel Goa menegaskan, kriminalisasi, diskriminasi dan mafia hukum di Indonesia masih marak, khususnya di wilayah hukum DKI Jakarta.
Sebab itu, menurut Gabriel, para penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa hingga hakim perlu diusut keterlibatan dan tanggung jawabnya.
Hal itu agar kebenaran dan keadilan sebuah kasus harus diungkapkan secara obyektif yang didukung dengan bukti hukum.
Gabriel kembali menegaskan perlunya mengusut tuntas kasus-kasus hukum yang diskriminatif. Apalagi, proses hukum yang menyebabkan kriminalisasi atas korban yang mencari keadilan.
Ia mengaku diskriminasi dan kriminalisasi itu di antaranya terjadi dalam sejumlah kasus tanah. Tidak sedikit para mafia tanah yang sesungguhnya lolos dan memenangkan sengketa tanah.
“Hal itu bisa terjadi karena keterlibatan aparat penegak hukum. Polisi, jaksa dan hakim harus diusut dan bertanggung jawab,” tegas Ketua KOMPAK Indonesia itu kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (05/03/2022).
Kata dia, Devid dan Effendi adalah dua korban kriminalisasi yang dituding sebagai mafia tanah di kawasan Bungur, Kemayoran, Jakarta Pusat pada Maret 2021 lalu.
Gabriel mengatakan banyak kejanggalan sejak awal penahanan oleh polisi hingga vonis 4 bulan di PN Jakarta Pusat dengan putusan Nomor 485/Pid.B/2021/PN Jkt.Pst tanggal 1 Desember 2021.
Menurut dia, tuduhan sepihak dari Polres Metro Jakarta Pusat didukung Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat tidak mempunyai dasar hukum.
Tindakan ‘pemaksaan’ itu terkesan untuk menunjukkan keberhasilan pada pimpinan penegak hukum dan menguatkan dugaan adanya ‘tekanan’ dari pihak tertentu.
Seperti diketahui, Kapolres Metro Jakarta Pusat Komisaris Besar Polisi Hengki Haryadi, Kamis (8/4/2021), mengatakan telah mengamankan sejumlah tersangka dalam kasus penguasaan tanah di Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat.
Adapun lahan yang disengketakan sebenarnya milik dari Induk Koperasi Kopra Indonesia dengan sertifikat Hak Guna Bangunan No.567 atas nama JAJASAN KOPRA. Sebelum menahan Devid dan Effendi, Polres Jakarta Pusat menangkap delapan orang preman berinisial HK, EG, RK, MH, YB, WH, AS, dan LR yang diduga menguasai lahan itu, serta AD yang merupakan oknum pengacara.
Untuk itu, kata Gabriel, pihaknya mendesak Komisi Kejaksaan, Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Jaksa Agung untuk memeriksa dan menindak tegas Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Bungur.
Selain itu, mendesak Komisi Yudisial (KY), Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Banwas MA) dan Ketua MA untuk memeriksa dan menindak Majelis Hakim di PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI yang tetap memaksakan peradilan sesat yang dipaksakan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Bungur.
“Ini peradilan sesat karena terjadi diskriminasi dan menyebabkan kriminalisasi pada korban yang dituding sebagai mafia tanah. Jaksa dan hakim harus segera ditindak oleh para pihak yang berwenang,” tegasnya.
Sejak awal, kata Gabriel, korban yang mendapat kuasa dari pemilik tanah yang sah sudah berusaha meluruskan dan menilai ada ketikadilan dalam kasus tersebut.
Namun, pemilik tanah yang sah justru menghadapi tekanan dari pihak yang diduga menjadi mafia tanah.
Sebagian besar media juga ikut menuding sesuai pernyataan polisi, kemudian jaksa dan hakim juga seakan-akan ikut dalam permainan mafia tanah.
“Harus diusut siapa sebenarnya yang jadi mafia tanah. Kami sangat mendukung aparat penegak hukum agar bisa menunjukkannya. Kami siap membantu dan bekerja sama,” ujar Gabriel. (*VoN)