Kupang, Vox NTT-Kampus, selain tempat belajar mahasiswa, juga merupakan miniatur Indonesia dengan bangsa dari berbagai latar belakang suku, agama, ras dan antargolongan.
Perbedaan yang ada di lingkungan kampus bukan menjadi penghalang untuk menimba ilmu, namun justru menjadi warna yang indah dalam bingkai toleransi.
Dari lingkungan kampus inilah, tangan yang selama ini tidak saling “mengenal” justru saling bergandengan, membantu dan memberikan dukungan satu sama lain demi meraih masa depan yang gemilang.
Canda dan tawa dalam menjalani aktivitas di lingkungan kampus menjadikan ikatan pertemanan, persahabatan dan bahkan persaudaraan.
Situasi itulah yang dirasakan oleh Dewi Nai’m Mukin (21), seorang muslimah asal Adonara, Flores Timur yang saat ini masih menjadi mahasiswa aktif Pendidikan akuntansi, Universitas swasta STIE Oemathonis Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur.
“Saya masuk angkatan 2017. Di sini (Universitas STIE Oemathonis), teman, dosen, sampai karyawan dari berbagai daerah dan agama, tetapi kita tidak melihat perbedaan itu,” ujar Dewi membuka ceritanya kepada VoxNtt.com akhir pekan lalu.
Selama kuliah di universitas yang dimiliki yayasan Katolik ini, Dewi tidak pernah mendapat perlakukan yang berbeda.
Dia menambahkan, tidak ada istilah mayoritas dan minoritas. Ia justru mendapat pelajaran cara memanusiakan manusia.
“Toleransinya menurut saya tinggi banget. Tidak ada mayoritas dan minoritas, tetapi intinya bagaimana memanusiakan manusia,” ucapnya.
Dewi menceritakan, misalnya, saat bulan puasa, teman-temanya yang nonmuslim selalu menghormati dengan tidak makan atau minum di depannya. Bahkan, beberapa temanya nonmuslim sampai ikut berpuasa.
“Mereka selalu bilang minta maaf kalau mau makan dan jauh-jauh, saya justru yang jadi tidak enak, orang saya tidak masalah. Teman-teman dekat saya juga ada yang ikut puasa,” bebernya.
Diketahui, Dewi Nai’m Mukin Warga Sikumana yang saat ini masih menjadi mahasiswa aktif Pendidikan Akuntansi, (S1) universitas STIE Oemathonis Kupang.
Pihak kampus, lanjutnya, juga memberikan waktu seluas-luasnya bagi mahasiswa untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya.
Misalnya, saat waktu salat zuhur, meski sedang kuliah, mahasiswa yang beragama Islam diperbolehkan meninggalkan kelas untuk menjalankan ibadahnya.
Bahkan, kalau hari Jumat, justru dosen sering mengingatkan para mahasiswa yang beragama Islam agar berangkat shalat jumat.
“Kalau waktu kuliah, mau shalat dosen mempersilakan. Justru dosen mengingatkan teman-teman di kelas agar berangkat shalat Jumat,” tandasnya.
Pelajaran agama pun bersifat diskusi tanya jawab. Bagaimana mengenal agama- agama di Indonesia, bagaimana menjaga kebinekaan, dan saling menghormati.
“Yang mengisi gantian, dosen Muslim, Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Bentuknya forum diskusi tanya jawab,” kata Dewi.
Diceritakanya, di lingkungan Universitas STie Oemathonis, ia melihat seorang suster, romo, frater, pendeta duduk bersama mahasiswa berjilbab, bercanda, makan bersama di kantin atau berdiskusi sudah hal yang biasa.
Bahkan suster memboncengkan teman kelasnya yang berjilbab atau sebaliknya juga itu sudah biasa.
Hal senada juga disampaikan alumni STIE Oemathonis Anderias Gadja Wadu, mahasiswa Fakultas Ekonomi 2020 menuturkan, perbedaan bukan menjadi penghalang untuk menjalin pertemanan maupun persaudaraan. Justru perbedaan itu harus dirayakan dan menjadi indah.
“Di sini (Universitas STIE Oemathonis kupang) yang kuliah tidak hanya Katholik tetapi banyak yang Muslim Hindu, Budha dan Kristen. Dan, tidak ada masalah, justru saling bersaudara,” ujarnya.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba