Jakarta, Vox NTT- Perwakilan Diaspora Poco Leok Jabodetabek dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT) Jakarta menggelar aksi unjuk rasa Jilid III di Jakarta, Rabu (09/08/2023).
Aksi menolak pengembangan PLTP Ulumbu di wilayah Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, itu menyasar di Kedubes Jerman dan PLN Pusat.
Kordinator aksi Jilid III Jakarta, Kristian Jaret, dalam rilis yang diterima VoxNtt.com menegaskan, penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi oleh pemerintah pusat pada Juni 2017 lalu, telah mengabaikan sepenuhnya keselamatan manusia dan alam.
Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 itu, tampak mencerminkan watak dan lakon kekuasaan yang tamak dan otoriter: menjadikan ruang hidup warga sebagai komoditas, berikut mengabaikan risiko-risiko yang ditimbulkan dalam seluruh rangkaian proses penambangan panas bumi.
Menurut Kristian, klaim pemerintah bahwa panas bumi (geothermal) sebagai sumber energi yang “ramah lingkungan” dan “rendah karbon” tak sepenuhnya benar.
Pemerintah, kata dia, mencoba membesar-besarkan panas bumi sebagai mitigasi rendah karbon atas sumber utama pemanasan bumi penyebab perubahan iklim yaitu pembakaran bahan-bakar fosil.
Dalam praktiknya, penambangan panas bumi untuk membangkitkan listrik juga membangkitkan sumber-sumber bencana baru dan berkelanjutan.
Bahkan, rendahnya emisi karbon dari industri tambang panas bumi juga disertai dengan mengorbankan bukan saja manusia, tetapi juga hutan, bentang air, dan kelengkapan infrastruktur ekologis dari kehidupan pulau, yang kesemuanya jauh lebih berbahaya daripada besaran emisi-karbonnya.
Perluasan PLTP Ulumbu ke Poco Leok
PLTP Ulumbu terletak di Desa Wewo, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, beroperasi berdasarkan SK Dirjen Mineral dan Batubara Nomor 3042/23/DJB/2009 tertanggal 28 Oktober 2009.
PLTP Ulumbu diresmikan pada November 2011 lalu, dan mulai beroperasi sejak Januari 2012.PLTP Ulumbu bernaung dibawa PT PLN (Persero), dan beroperasi di lahan seluas 18.280 hektare.
Terdapat empat pembangkit yang beroperasi, masing-masing berkapasitas 2,5 MW.
Lahan-lahan yang digunakan PLTP Ulumbu sebelumnya digunakan warga untuk menanam berbagai tanaman pertanian dan perkebunan, mulai dari padi, jagung, umbi-umbian.
Setelah PLTP Ulumbu beroperasi, warga di sekitar PLTP Ulumbu mengeluh kesehatannya terganggu, terutama terkait penyakit ISPA.
“Selain itu, tanaman pertanian dan perkebunan seperti kopi, cengkih, kakao, hingga kemiri tak lagi produktif,” ujar Kristian.
Demikian juga dengan atap seng rumah dan sekolah yang karatan akibat terpapar H2S yang korosif.
Selain itu, warga juga mengeluh sumber air yang tercemar, diduga akibat operasi tambang panas bumi Ulumbu.
Di tengah keluhan warga yang selalu diabaikan tersebut, lanjut dia, pemerintah justru tengah memperluas wilayah pengeboran PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok. Wilayah ini merupakan daerah pegunungan yang berjarak sekitar 3 kilometer ke arah timur.
Perluasan proyek panas bumi ini juga berdasarkan pada SK Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan PLTP Unit 5-6 di Poco Leok yang diteken Bupati Manggarai Herybertus G.L Nabit.
Merujuk SK ini, wilayah sasaran perluasan operasi panas bumi itu mencakup 13 kampung di tiga desa, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas.
Di tiga desa ini, terdapat sekitar 3000 jiwa penduduk, mayoritas di antaranya bergantung pada sektor pertanian dan perkebunan, juga peternakan.
Perluasan wilayah operasi ini diklaim sebagai upaya menaikkan kapasitas PLTP Ulumbu dari 7,5 MW saat ini menjadi 40 MW.
Adapun lokasi pengeboran ditargetkan berjumlah 60 titik dan menyebar di kampungkampung warga.
Proyek perluasan wilayah operasi ke Poco Leok ini juga telah ditetapkan sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional, dan didanai oleh Bank Pembangunan Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW)melalui PT PLN (Persero).
Alasan Penolakan
Perwakilan Diaspora Pocoleok Jabodetabek, Fabianus Siprin, menjelaskan sedari awal, warga Poco Leok yang mayoritas perekonomiannya bergantung pada sektor pertanian/perkebunan—sebagiannya juga mengandalkan pendapatan dari menyadap aren, memandang tanah Poco Leok sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan.
Tanah adalah rahim dan ruang hidup, dan karenanya wajib dijaga hingga ke generasi berikutnya.
“Tanah Poco Leok yang penuh dengan tanaman kopi dan cengkih, adalah tulang punggung perekonomian keluarga, hingga berhasil menyekolahkan anak ke jenjang perguruan tinggi,” kata pria asal Kampung Cako, Poco Leok itu.
Menurut Fabianus, menjual lahan kepada perusahaan akan berdampak pada kehilangan ruang pangan dan pekerjaan, hingga pada akhirnya menimbulkan kemiskinan dan alih profesi.
Operasi tambang panas bumi yang dekat dengan sumber mata air warga juga menjadi ancaman serius.
Lokasi wellpad G, misalnya, hanya berjarak sekitar 100 meter dari Wae Nobak dan Wae Lapang, juga tak terlalu jauh dari Wae Sower, Wae Kilo Manuk, Wae Lanteng, dan Wae Ruka.
Seluruh sumber mata air itu vital bagi warga, dimanfaatkan untuk konsumsi domestik rumah tangga, ternak, dan lahan pertanian/perkebunan.
Tambang panas bumi yang rakus air dan potensi panas yang berada di perut bumi dipaksa keluar dengan menyemburkan air dan zat kimia, berkibat pada pencemaran akibat larutan hidrotermal yang mengandung kontaminan seperti arsenik, antimon, dan boron.
Zat-zat kimia tersebut berbahaya bagi kesehatan manusia dan ekosistem. Topografi Poco Leok yang terdiri dari pegunungan, perbukitan, dan lembah juga sangat berisiko jika tambang panas bumi dipaksakan.
“Sistem tambang panas bumi—ekstraksi panas (dalam bentuk gas) pada kedalaman yang relatif dangkal dari sumur ekstrasi, dimana air ditarik secara terus menerus menyebabkan kepadatan tanah berkurang,” tegasnya.
Di sisi lain, lanjut Fabianus, thermal pollution karena panas yang diekstrak keluar dapat menyebakan sekeliling lokasi menjadi kering.
Ketika struktur tanah menjadi tidak stabil, apalagi topografi Poco Leok yang rawan longsor, dengan kemiringan yang ekstrem, maka potensi terjadinya bencana longsor pada musim hujan semakin besar.
Ancaman ini diperparah jika pemanfaatan panas bumi menggunakan metode Hydraulic Fracturing (Fracking).
Fracking merupakan teknik stimulasi sumur yang mana lapisan batuan di bawah diretakkan dengan fluida cair bertekanan tinggi.
Penambangan energi dengan menggunakan fracking dapat menyebabkan gempa bumi minor, pencemaran air, thermal pollution, dan juga amblesan. Penambangan panas bumi juga mengancam kesehatan warga.
Hydrogen Sulfide atau H2S adalah gasberacun di panas bumi yang tidak berwarna, lebih berat daripada udara, dengan bau khas “telur busuk”.
Fabianus menambahkan,dalam konsentrasi rendah, H2S berdampak pada iritasi mata, hidung, tenggorokan, dan sistem pernapasan. Bahkan, dalam paparan dengan konsentrasi tinggi bisa menyebabkan syok, kejang, tidak bisa bernapas, koma, dan akhirnya kematian.
Efek lethal tersebut bisa dalam beberapa hirupan ataupun hanya dalam 1 hirupan. H2S juga berpengaruh pada peralatan logam karena H2S bersifat korosif.
Rencana penambangan panas bumi di Poco Leok yang meliputi 60 titik, serta berada di dekat rumah-rumah warga akan berdampak pada atap seng rumah, sekolah, dan fasilitas publik lainnya karatan.
Upaya Paksa
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT) Jakarta Saverius Jena, menegaskan di tengah meluasnya gelombang penolakan warga atas perluasan penambangan panas bumi ke Poco Leok ini, pemerintah dan PT PLN justru terus berupaya paksa mempercepat proses perluasan PLTP Ulumbu ke Poco Leok.
Dikatakan, upaya paksa yang dilakukan secara berulang itu dalam rangka untuk melakukan survei topografi access road atau survei topografi akses jalan untuk memobilisasi kendaraan proyek hingga pematokan tanah ulayat (lingko) untuk disertifikasi, lalu kemudian dibebaskan untuk lokasi tambang panas bumi.
“Rentetan upaya paksa percepatan proses perluasan wilayah operasi PLTP Ulumbu tersebut tanpa sepengetahuan dan seizin warga adat selaku pemilik ulayat,” kata Saverius.
Namun, kata dia, pendekatan keamanan yang represif melalui keterlibatan Polisi, TNI, dan Sat Pol PP justru memicu eskalasi konflik di Poco Leok.
Alhasil, sebagian warga penolak mendapat tindak kekerasan fisik dan intimidasi, hingga sebagiannya dilarikan ke fasilitas kesehatan (Puskesmas) setempat.
Sevarius menegaskan, brutalitas aparat keamanan itu salah satunya terjadi pada 20 Juni 2023, ketika PT PLN dan BPN/ATR Manggarai hendak mematok lahan/tanah warga.
Warga penolak yang terdiri atas empat (4) orang perempuan dan lima (5) orang laki-laki mengalami kekerasan karena ditendang dan didorong hingga terjatuh ke selokan. Seorang perempuan juga mengaku organ kewanitaannya dipegang oleh Polisi.
Tak berhenti di situ, pemerintah dan aparat keamanan juga diduga membangun konflik sosial di tengah masyarakat, salah satunya dengan memobilisasi sekelompok warga yang mengaku “mendukung geothermal” untuk mengadakan aksi damai dan deklarasi dukung proyek geothermal pada 19 Juni 2023 lalu.
Warga yang “pro” ini, mayoritas didatangkan dari luar wilayah Poco Leok, seperti Wae Koe, Golohado, dan Satarmese Barat.[VoN]