Bajawa, Vox NTT- Selama tiga tahun terakhir, Kejaksaan Negeri (Kejari) Ngada sudah menyeret 18 koruptor ke penjara.
Belakangan ini memang Kejari Ngada di bawah pimpinan Raharjo Budiarto gencar mengusut berbagai kasus korupsi. Itu terutama di Kabupaten Ngada dan Nagekeo, wilayah kewenangan lembaga penegak hukum ini.
Kepada VoxNtt.com di ruang kerjanya, Selasa (14/3/2017) Raharjo mengatakan, dari jumlah itu paling banyak berasal dari Kabupaten Nagekeo, yakni 16 orang. Sedangkan dari Kabupaten Ngada hanya berjumlah dua orang.
Raharjo mengaku, instansinya dinilai cepat menuntaskan kasus korupsi. Prestasi tersebut bukan dinilai Kejari Ngada, namun penilaian tim dari Kejaksaan Agung.
Tahun 2015, jelas dia, Kejari Ngada sebagai kejaksaan Tipe B mendapat ranking satu nasional dalam upaya penanganan dan penyelesaian kasus korupsi.
Atas prestasi ini, Raharjo berkomitmen tidak menyurutkan semangat dalam menuntaskan masalah korupsi di Ngada dan Nagekeo.
Anggaran Terbatas
Meski anggaran yang disediakan Negara terbatas untuk Kejari Ngada, namun Raharjo tetap mewujudkan komitmennya dalam menuntaskan kasus korupsi.
Dia mengaku anggaran untuk Kejari Ngada hanya berjumlah Rp 140 juta per tahun.
Jumlah anggaran tersebut dinilai tidak cukup bagi penyidik yang bertugas di wilayah seperti NTT karena topografi dan kendala lainnya.
Ia mencontohkan, untuk melaksanakan sidang tipikor, penyidik harus berangkat ke Kupang menggunakan pesawat. Penyidik juga membiayai semua transportasi dan makan minum para terdakwa.
Bila terdakwa dalam satu kasus lebih dari tiga orang tentu saja membutuhkan biaya besar.
Masalah lain tambah Raharjo, keberadaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) hanya berpusat di Kupang.
Lembaga ini diberi kewenangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan. Dia siap membantu penyidik untuk melakukan perhitungan kerugian Negara. Bila BPKP terlambat menyelesaikan perhitungan, penyidik juga tetap menunggu.
Selain kendala topografi, juga ada kendala keterbatasan lembaga akademik yang biasa membantu penyidik melakukan penyelidikan kasus tipikor.
Menurut Raharjo, di NTT lembaga perguruan tinggi yang memenuhi syarat sebagai ahli hanya dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang dan Politeknik Negeri Kupang.
Letak kedua lembaga pendidikan tinggi ini juga di Kupang sehingga penyidik harus menggunakan pesawat untuk berkoordinasi dan menyiapkan anggaran lagi untuk mendatangkan para ahli.
Dikatakan, di NTT memang cukup banyak tenaga ahli dari perguruan tinggi. Namun lembaga tempat para ahli bekerja belum diberi kepercayaan.
Di Flores misalnya ada Universitas Flores (Uniflor) Ende, Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere.
Raharja menegaskan, dua lembaga ini mesti diberi kepercayaan oleh Negara untuk membantu para penyidik dalam hal keahlian.
Dengan demikian, dalam menangani masalah korupsi di Flores, penyidik tidak perlu lagi mencari ahli di Kupang atau di luar NTT, tetapi cukup dengan perguruan tinggi yang terdekat. Hal ini juga dalam rangka penghematan anggaran perjalanan. (Arkadius Togo/VoN)