Kupang, Vox NTT- Institute Research of Governance and Social Change (IRGSC) sebagai mitra dari Wahana Visi Indonesia (WVI) melaksanakan survei buruh migran dan antisipasi terhadap kerentanan perdagangan orang di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi NTT.
Survey ini dilaksanakan pada tanggal 9 sampai 26 Mei 2018 di enam desa. Keenam desa tersebut, yakni tiga Desa Bone Kecamatan Amanuban Tengah, Desa Neke dan Pene Utara Kecamatan Oelnino dan Desa Kuanfatu, Basmuti dan Kelle di Kecamatan Kuanfatu.
Dalam siaran pers dari Direktur IRGSC, Elcid Li yang diterima VoxNtt.com, Sabtu (28/7/2018), mengatakan, penelitian IRGSC pada bulan Mei 2018 tersebut didukung oleh WVI Kabupaten TTS.
Hal survey juga diperkuat dengan hasil presentasi pemerintah desa, perwakilan gereja, tokoh adat yang berasal dari wilayah 9 desa pada tanggal 26 dan 27 Juli 2018.
Kesembilannya yakni, Desa Kelle, Kelle Tunan, Kuanfatu, Basmuti, Bone, Nekke, Pene Utara, Sopo dan Desa Nobi-obi.
Menurut Elcid, persoalan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil merupakan hal utama yang harus menjadi perhatian bersama. Untuk itu dibutuhkan perhatian lebih dari Pemerintah Kabupaten TTS, khususnya pasangan kepala daerah terpilih periode 2018-2023.
“Upaya khusus itu perlu dilakukan untuk memastikan bahwa hak pencatatan kependudukan terbuka dan mudah untuk dijangkau oleh seluruh keluarga dari daerah paling pelosok hingga kota Soe. Tanpa dokumen administrasi dan kependudukan dengan sendirinya warga tidak dianggap sebagai ‘warga negara’(stateless),” kata Elcid dalam siaran pers itu.
Pemenuhan hak kependudukan dan pencatatan sipil ini, kata dia, merupakan syarat utama dalam mengendalikan migrasi berisiko yang mungkin dalam bentuk perdagangan orang. Hal ini terutama yang menyasar kabupaten secara khusus membuat pemetaan persoalan dan pemetaan kapasitas untuk menyelasaikan persoalan administrasi kependudukan.
“Berdasarkan hasil survey ini hanya 58,9 warga yang memiliki dokumen kependudukan ketika meninggalkan desa. Dokumen kependudukan yang dimiliki antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebanyak 66,1 persen, akta kelahiran sebanyak 56,7 persen dan yang menggunakan surat baptis sebanyak 88,1 persen,” tulisnya.
Dia berharap, Dinas Kesehatan Kabupaten TTS proaktif untuk memetakan kondisi kesehatan reproduksi para pekerja migrant. Karena mereka amat rentan terpapar penyakit AIDS/HIV.
“Langkah ini perlu dilakukan secara terpadu, tanpa memberikan stigma kepada para pekerja,” pintanya.
Elcid mengatakan, tingginya angka perdagangan orang dari Kabupaten TTS perlu diantisipasi oleh Dinas Nakertrans Kabupaten TTS.
Antisipasi bisa dilakukan dengan pola kerja sama pemerintah desa untuk melakukan sosialisasi terpadu, khususnya tentang cara aman untuk melakukan migrasi.
“Angka migrasi yang tinggi sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada 360 responden di tiga kecamatan, penduduk desa yang menjadi buruh migran sebagian besar berasal dari keluarga yang setiap bulannya berpenghasilan di bawah Rp 100 ribu, yakni sebanyak 28 persen.,” jelas dia.
“Latar belakang sebagian besar keluarga buruh migran adalah petani, atau sebesar 89,7 persen. Faktor ekonomi diakui sebagai faktor utama yang membuat orang pergi (96,4 persen),” tambah Elcid.
Lanjut dia, rendahnya tingkat pendapatan warga di desa ditemui dengan minimnya uang tunai yang diperoleh per keluarga.
Hal ini menunjukkan perlunya upaya khusus untuk meningkatkan pendapatan keluarga-keluarga miskin yang tinggal di desa.
Itu bisa dilakukan dengan menghidupkan Bumdes dan pengembangan model-model alternatif pertanian lahan kering.
“Sebanyak 77,8 persen responden menyatakan bahwa pekerjaan di tempat rantau lebih besar dibandingkan mengolah lahan pertanian di kampung. Alasan lain yang membuat mereka memutuksan untuk pergi adalah mencari pengalaman (46 persen) dan mencari uang sendiri (34 persen),” katanya.
Sektor pendidikan lanjut dia, membutuhkan prioritas perhatian pemerintah. Penduduk yang melakukan migrasi untuk berkerja ke luar daerah rata-rata berusia produktif. Sebanyak 40,3 persen pelaku migrasi berusia 19 hingga 24 tahun.
Bahkan, kata dia, ada pelaku migrasi yang masih di bawah umur atau berusia anak. Hasil survey menunjukkan 20,6 persen pelaku migrasi dengan rentang usia 15-18 tahun.
“Khusus untuk migrasi anak menunjukkan posisi anak yang sangat rentan selain untuk menjadi pekerja anak, tetapi juga menjadi korban perdagangan orang (human trafficking). Kabupaten TTS sendiri merupakan salah satu kantong korban perdagangan orang,” ujar Elcid.
Lanjut dia, dari mereka yang berangkat bermigrasi lulusan SD dan SMA ada di peringkat paling atas atau keduanya sama-sama ada dalam posisi 25,6 persen. Disusul dengan tamatan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 22,8 persen.
Selain itu sebanyak 39 orang (41,5 persen) dari mereka yang putus sekolah disebabkan karena karena tidak ada biaya.
Alasan lain, kata dia, mereka yang putus sekolah karena malas sebanyak 9 orang (28,1 persen), dan 7 orang (21,9 persen) putus sekolah karena sakit.
“Minimnya keberadaan guru yang berkualitas , fasilitas sekolah yang mendukung, maupun jauhnya akses terhadap fasilitas pendidikan dari rumah anak-anak telah membuat angka putus sekolah tinggi, dan rendahnya kualitas pendidikan yang diterima anak-anak,”pungkasnya.
“Alasan utama pelaku migrasi untuk pergi adalah karena Informasi mengenai gaji tinggi dan mudah mencari kerja di daerah rantau.Pemetaan sarana dan prasarana fasilitas pendidikan di lingkup Kabupaten TTS adalah mutlak,” sambung Elcid.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Adrianus Aba