Oleh: Viktorius P. Feka
Mahasiswa Pascasarjana FIB UGM, Penerima Beasiswa LPDP Gelombang II 2016
Bahasa kita kini tidak steril lagi. Sudah terkena virus hoaks—berita bohong.
Hoaks, bahkan, menyeret bahasa ke dalam ujaran kebencian (hate speech). Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi nan elok telah beralih fungsi untuk kepentingan yang tidak sehat.
Bahasa dimanfaatkan untuk memfitnah, menghujat, menghasut, menghina, melecehkan, mencemarkan nama baik, bahkan mencari untung walau mesti mengorbankan orang lain. Tak peduli. Intinya, hoaks sampai kepada sasaran utama (objek penderita); intinya lembaran tukar menyesaki brankas. Sedih memang.
Tetapi, inilah fakta yang tengah menyampah keindahan halaman bahasa kita. Kedaulatan bahasa kita dicampakkan ke dalam kobaran api dusta (kebencian).
Bahasa tak seindah dulu lagi sebagaimana kala pemuda Indonesia mengikrarkannya dalam ‘Sumpah Pemuda’ pada 28 Oktober 1928.
Sumpah pemuda untuk hanya berbahasa satu: bahasa Indonesia kini disampahi dengan bahasa parasitik. Bahasa kini telah menjadi produk hoaks (ujaran kebencian).
Hoaks (ujaran kebencian) kian menghiasi etalase media sosial, bahkan laris dalam pasar tipu daya. Sebagai umpama, cermati saja media massa yang tengah merilis berita teranyar mengenai kebohongan Ratna Sarumpaet.
Wajahnya lebam akibat operasi plastik, tapi ia menyulap fakta itu ke dalam virus cericau, lalu menularkannya kepada publik (lihat kompas.com, poskupang.com, detik.com, liputan6.com, dan media lainnya).
Lebih parah lagi ketika hoaksnya itu ditelan begitu saja orang-orang dengan kapasitas intelektual mumpuni. Aneh memang. Sulit dipercaya. Namun, inilah fakta bahwa nyala api kebohongan (kebencian) lumrahnya disulut mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai kaum cendikiawan. Mata kecendikiawanan dibutakan oleh libido keinginberkuasaan. Telinga keadaban rupanya ditulikan oleh setan politik kekuasaan (kebiadaban).
Rupanya hoaks menjadi satu-satunya cara jitu untuk meraup simpati dan mungkin untuk meraih kekuasaan dan kepentingan (politik) terselubung lainnya. Tak heran bila hampir setiap hari media massa disesaki dengan hoaks.
Publik Indonesia semacam dikenyangkan dengan sajian berita tersebut (hoaks). Hoaks tak pernah luput dari pembahasan harian. Di kalangan media arus utama, khususnya lagi media sosial, hoaks seakan menjadi hidangan utama dalam menu pemberitaan (informasi).
Hoaks begitu tiba-tiba tumbuh subur dan menjamur di seantero Nusantara ini walau memang secara historis kemunculannya sudah ada selama berabad-abad, dimulai dari Eropa dan Amerika.
Di Indonesia, hoaks memang hampir menjadi rekan karib keseharian hidup, tapi tak begitu membahana. Resonansinya baru tampak ketika perhelatan Pemilihan Umum Presiden Republik Indonesia 2014.
Tak menunggu lama, setahun kemudian, hoaks (ujaran kebencian) tersebut berubah menjadi usaha perdagangan kata. Kehadirannya ibarat mantra—memiliki kekuatan—mampu memorakporandakan kerapian tatanan sosial kehidupan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Rote.
Kemunculannya (hoaks/ujaran kebencian) pun, bahkan berhasil memikat para pemihaknya dengan sederet magnet kepentingan. Amati saja aneka warta mengenai hoaks (ujaran kebencian) di media massa, di sana didapatkan puluhan, bahkan ratusan kata-kata kebohongan (kebencian).
Kata-kata itu tak lagi hanya disebar untuk memprovokasi, menghasut, ataupun menghina, tapi lebih daripada itu adalah mendatangkan keuntungan. Maka, hoaks (ujaran kebencian) saat ini pun telah menjadi barang komersial.
Buktinya adalah kehadiran Saracen—semacam suatu organisasi atau sindikat di Indonesia yang menjual jasa penyebaran ujaran kebencian. Organisasi ini tak lagi melihat ujaran kebencian sebagai sebatas ujaran (tuturan) semata, akan tetapi sebagai produk transaksional-ekonomis. Ujaran kebencian dijadikan pabrik guna memproduksi profit tanpa mempertimbangkan objek (korban) dari transaksi ujaran ‘berbisa’ itu.
Bahasa Indonesia yang diikrarkan ‘satu’ oleh para pemuda ’28 (dalam Sumpah Pemuda) sebagai bahasa pemersatu, kini menjadi bahasa pemecah belah.
Bahasa Indonesia tidak ‘suci’ lagi. Bahasa Indonesia saat ini dijadikan produk hoaks (ujaran kebencian) guna meraih kepentingan tertentu, termasuk pendulangan rupiah. Hoaks (ujaran kebencian) itu dikemas apik-menggoda.
Sampai di sini muncul pertanyaan, apa yang sesungguhnya melatari produksi dan distribusi hoaks (ujaran kebencian) itu? Fairclough (lihat Jorgensen & Philips, 2010: 139 & 142) menyatakan ada dua unsur pembentuknya, yakni ideologi dan hegemoni.
Dikatakan Fairclough, ideologi merupakan “makna yang melayani kekuasaan”, sedangkan hegemoni diwatasi sebagai praktik kewacanaan—menjadi praktik sosial yang luas—melibatkan hubungan kekuasaan.
Selaras dengan pandangan ini, dapat dikatakan hoaks (ujaran kebencian) merupakan konsep sistemis-patologis yang disebarkan kepada publik dengan intensi-intensi untuk mendapatkan atau melanggengkan kekuasaan, memperoleh keuntungan ekonomis, dan mungkin saja untuk merusak tatanan sosial (ideologi bangsa).
Hoaks (ujaran kebencian) tidak hadir begitu saja di jagat bebas, akan tetapi ia hadir dengan kepentingan-kepentingan terselubung.
Itulah sebabnya, bila mencermati kondisi Indonesia saat ini: maraknya penebaran dan penyebaran hoaks (ujaran kebencian), agaknya hipotesis Sapir-Whorf bahwa bahasa mempengaruhi cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya dan bahasa menguasai cara berpikir dan bertindak manusia (lihat Abdul Chaer, 2014:70), mendekati kebenaran.
Pasalnya, hoaks (ujaran kebencian) pada umumnya menggunakan kata-kata—tak lain adalah satuan pembentuk bahasa. Media online (daring) digunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian. Kata-kata dikemas secara rapi dalam bahasa provokatif dan agitatif, lalu disebarluaskan kepada publik melalui media online pula.
Realitas ini bisa dilihat pada berbagai berita di media massa. Sebagai contoh, Liputan6.com pernah memberitakan bahwa aparat kepolisian menemukan adanya sindikat penebar kebencian Saracen mengelola media online.
Berita ini dan tentunya berbagai berita lainnya setautan dengan kasus hoaks (ujaran kebencian) seakan menyingkapkan bukti empiris dominasi bahasa terhadap budaya.
Pencipta dan penebar hoaks rupanya sedang berupaya untuk merusak bahasa dan bangsa kita, Indonesia. Andaikata Sapir-Whorf ada di Indonesia, mereka pasti akan tersenyum bangga karena hipotesis mereka akan dominasi bahasa terhadap pola pikir dan perilaku manusia Indonesia terbukti betul; andaikan mereka membaca aneka berita dusta (hoaks) di pelbagai media massa Indonesia, mereka pasti akan tertawa sinis lantaran “perang kata bohong” di antara sesama anak bangsa semakin ‘nyeri’.
Sebaliknya, andaikata para pengikrar ‘Sumpah Pemuda’ masih hidup, mereka akan menangis sedih karena sumpah mereka yang dahulunya sakral kini bernoda hoaks.
Andaikan mereka masih ada, mereka pasti akan kecewa menyaksikan anak bangsa yang menggunakan bahasa Indonesia untuk merusak bangsa dan negara ini; dan andaikan mereka masih ingin mengikrarkan kembali ‘Sumpah Pemuda’ mereka pasti akan berkata demikian:
“Janganlah menduakan bangsa dan tanah air Indonesia dengan kepentingan individu atau kelompokmu, melainkan utamakanlah keutuhan dan kepentingan bangsa dan negara. Janganlah merusak bahasa satu Indonesia dengan hoaks, melainkan gunakanlah bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu kebinekaan di tanah air ini. Janganlah menggunakan bahasa Indonesia untuk mendustai, membenci, menghasut, menghujat, melecehkan, dan serupanya, melainkan gunakanlah bahasa itu untuk saling memuliakan”.