Oleh: Aris Amlupu
Desember kembali menyapa. Sore itu kabut menyelimuti tubuh para penghuni bilik sunyi. Ruteng tengah menggigil sejadi-jadinya. Aku terbangun dari tidur siang setelah weker tua di sudut kamar berdering. Duduk sejenak menatap meja belajarku yang diseraki buku-buku. Tempat tidur tak kurapikan, Bete (kain tenun Dawan untuk pria) pemberian ibu sewaktu hendak berangkat tergeletak seenaknya. Ia menatapku manis tanpa sinis dengan seuntas tanya “masihkah kau ingat pesan ibu? Nak bahagia ibumu sederhana. Melihatmu pulang dibaluti jubah putih, itu sudah cukup.
Dengan sisa-sisa kantuk, kuraih sepuntung rokok yang kusisakan sebelum tidur di regel jendela. Dalam hitungan detik, asap Surya 12 mengepul dari cerobong bibirku, memanjat dinding kamar berukuran 3 X 4 hingga lenyap di sela-sela rak buku.
Pada sudut kamar terdapat sebuah pojok rohani dengan patung keluarga Kudus yang berdiri kokoh di atas lantai berkarpet merah. Sebuah sapu tangan putih menarik perhatianku. Dari sapu tangan putih itu, aku terkenang kembali kisah senja sebulan lalu.
Mariam namanya. Aku selalu menyapanya dengan sapaan manis Enu. Sebuah sapaan yang biasa disematkan pada perempuan- perempuan Manggarai.
Aku mengenalnya pertama kali saat upacara penyambutan ketika mengadakan live in di paroki St. Thomas Morus Robek. Aku terkesima dengan Tiba Meka (Upacara penerimaan tamu dalam tradisi Manggarai). Salah satu tarian termasyur peneriman tamu di tanah Congka Sae. Mataku terpaku pada lengggak lenggok Tiba Meka-nya.
Debur ombak terus menghantam karang hatiku. Laksana ombak pantai yang terus mengikis karang hingga hancur mejadi pasir putih. Dendam rinduku pun demikian. Terus memaksaku untuk bertemu. Biar hanya sedetik menggenggam tangannya, menatap wajah dan menggapai senyumnya. Sebuah senyum khas yang tak ketemukan di bibir gadis manapun.
Senyuman yang membuatku candu untuk terus merindu layaknya kecanduanku pada kopi Colol. Sebuah senyuman yang membuatku percaya bahwa Tuhan selalu punya cara sederhana untuk membuat ciptaan-Nya bahagia. Sebuah senyuman yang menyadarkanku bahwa kebahagiaan terbesar terkadang datang dari hal-hal sederhana.
Dan saat itupun tiba. Pada malam Minggu, sebelum pulang, diadakan malam kesenian di Paroki. Aku dan teman-teman baru selesai mementaskan tarian Tebe dan Bidu khas daerah Tetun dan Dawan. Ketika tengah merapikan Bete dan Pilu (daster ikat kepala) tiba-tiba Wiliam teman angkatan mengagetkanku “Ada yang ingin bertemu denganmu, ia menunggu dalam Gereja” katanya sambil tertawa mengejek.
Aku berjalan menuju Gereja dengan segudang pertanyaan. “Siapa gerangan yang ingin bertemu denganku? Jangan-jangan William ingin mengerjaiku” gerutuku dalam hati.
Setibanya dalam Gereja, aku dibuatnya kaget. Duniaku serasa terjeda dua detik. Sosok malaikat tak bersayap yang diciptakan Tuhan ketika sedang tersenyum berada tepat di depan mataku. Kami berdua saling bertatapan. Tak ada suara. Bunyi jarum jam Gerejalah yang menari sambil bernyanyi mengisi kesunyian kami.
Aku mengumpulkan segala keberanian. Menyuruhnya duduk lalu mengajaknya bercerita. Ia memperkenalkan diri. “Saya seorang penari di Sanggar Wela Rana. Sesekali mengisi waktu luang liburan dan mengembangkan bakat. “Katanya merendah saat aku memuji keindahan tariannya ketika penjemputan Minggu lalu. Kami saling bercerita tentang banyak hal hingga akhirnya waktu memaksa kami untuk saling berpamitan.
Sejak itu kami sering bertemu . Ia selalu menyempatkan waktu mengikuti perayaan Ekaristi di Biaraku. Kebetulan jarak antara asrama tempat ia tinggal dan Penjara Suciku tak begitu jauh. Dengan balutan songke dan kebaya putih sederhananya, membuat siapa saja pasti akan menoleh ketika ia berjalan masuk. Ia Cantik. Sungguh! Layaknya Siwa seorang gadis anggun dalam hikayat Manggarai yang biasa diceritakan teman-teman seangkatanku. Aku yakin pelukis sehebat Pablo Picasso tak akan dapat melukiskan keindahannya dan penyair sepuitis Khalil Gibran tak sanggup memuisikannya.
Gua Maria adalah tempat paling teduh untuk menenangkan debur kerinduan kami. Di sana kami saling berbagi kisah. Tentang apa saja. Entah itu cerita aktivitasku yang selalu sama ataukah novel Khalil Gibran yang baru selesai ia jelajahi.
Ia sangat dewasa dan pengertian.
Karena kekagumanku pada sifatnya tersebut, diam-diam aku menyimpan rasa sayang padanya. Aku tak pernah menceritakan pada siapapun bahkan kepada Tuhan sekalipun.
**
Jarum jam saling berkejaran menghadirkan waktu yang berlalu. Kami terus menjalani suatu hubungan tanpa kepastian. Lonceng Tua di sudut beranda terus bergaung menanti jawaban “inilah saya” kata ini pun lahir dibarengi sederet rindu dari rahim Mariamku. Ia terlalu manis untuk dikata dan terlalu pedih untuk dirasa.
Hingga pada suatu sore, ketika insan-insan tengah asyik memanjakan diri pada jingganya senja, aku menemui dirinya yang sedang mengaduh segala pedih pada teduh rahim Maria dalam sujud khusyuknya. Aku duduk di sampingnya hingga ia mengaminkan segala semoganya. “Nana, ada yang ingin kuceritakan padamu” ungkapnya setelah ia mengaminkan semoganya.
“Ceritakan Enu, Sebab telingaku tak pernah bosan mendengar segala keluh yang menjadi kesah hatimu”
“Seminggu yang lalu aku mendapat berita dari kampung. Adikku yang tengah merajut benang-benang ilmu di bangku sekolah terpaksa harus berhenti lantaran dihamili oleh kekasihnya. Ibuku sangat terpukul mendengar berita tersebut. Kini adikku menjadi buah bibir bagi kalangan masyarakat. Aku tak tahu cara apa lagi yang harus kulakukan untuk menenangkan duka ibuku. Sekarang Aku menjadi percaya dengan pepatah yang pernah nana sampaikan padaku bahwasanya nila setitik dapat merusak susu sebelanga
Aku menarik nafas panjang. Mencoba menyelam kedalam rahim Maria, dengan harap dapat menemukan mutiara jawaban untuk membalut luka yang tengah menganga dalam hatinya.
“Enu hidup itu tak seindah senyum, juga tak sepahit amarah. Kalau engkau tak ditantang dalam hidup engkau bukanlah emas yang murni. Hidup tidak dapat terlepas dari tantangan. Seorang penyair pernah mengatakan, “Cinta itu keindahan. Dasar hidup. Sumber harapan. Tetapi cinta kadang membeku dalam kesumpekan benteng egoisme. Ingin menang sendiri. Bahagia di atas tangis dan derita orang lain. Robohkan egoisme diri. Miliki hati yang lapang seperti biru laut. Dan kamu akan menjadi inspirasi kebahagiaan bagi siapapun terlebih ibumu.”
Senyuman kembali lahir dari bibirnya. Ia mendekat kepadaku. Meletakkan kepalanya pada bahuku, lalu perlahan meraih tanganku. Dia tatap mataku dalam-dalam dengan tatapan yang sangat teduh. Tangannya bergerak hendak mengambil sesuatu dari saku celananya, tetapi tatapan itu masih terjaga. Sebuah sapu tangan putih muncul dari saku celananya lalu diberikannya padaku.
“Nana terimalah sapu tangan ini dariku. Maaf jika pemberian ini terlampau sederhana, tetapi bukankah kebahagiaan terbesar terkadang datang dari hal sederhana?” . Terima kasih banyak Nana. Terima kasih telah menjadi telinga paling setia untuk mendengar segala cerita . Tangan yang selalu mengusap air mata. Bahu yang paling kuat untuk bersandar dan hati yang selalu jujur untuk mencintai.
Tentang cintammu yang sudah jujur kau katakan dan tentang jawabanku yang belum kunjung datang padamu, aku memohon maaf atas ketidakjelasan ini. Aku terlalu takut. Aku takut berharap terlalu jauh sebab yang ingin kujadikan milikku, saat ini terasa jauh dari mampuku. Nana engkau terlampau dekat sekaligus terlampau jauh bagiku.
Aku harus kembali ke kampung untuk menyelesaikan masalah adikku. Ibu tak cukup kuat hatinya untuk menghadapi masalah semacam ini. Aku tahu engkau masih mau menahanku di sini, sebab belum kuberikan jawaban pasti kepadamu perihal cintamu yang kau tawarkan. Sampai saatnya tiba, hanya sapu tangan itu yang dapat menjadi temanmu. Sebab tuannya terlalu takut dengan cinta dan mencintai”.
Aku menatap kosong pada sapu tangan pemberinya. Rasanya waktu terlalu kikir, sebab belum sempat kubalas perkataannya, lonceng tua di sudut beranda kembali bergaung, memberi peringatan kepada kami untuk segera mengakhiri pertemuan ini. Aku harus kembali ke dalam biara, bertemu Sang Pemilik Kata yang tak pernah lelah mencintai ciptaan-Nya.
(Bilik Sunyi 413, 12 Desember 2020)
Penulis adalah alumni SMA Negeri 1 Insana. Tinggal di Biara St. Kondradus Ende