Jakarta, Vox NTT– Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT) Jakarta mengutuk dan mengecam keras dugaan tindakan kekerasan aparat Polres Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat Rendu, Lambo dan Ndora.
Aparat keamanan diduga telah bertindak represif dan sewenang-wenang terhadap masyarakat adat Rendu, Lambo dan Ndora saat sedang menjaga tanah ulayat di posko penjagaan Dusun Roga-roga, Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo pada Kamis, 9 Desember 2021.
Ketua Umum SP NTT Saverius Jena mengatakan, kehadiran aparat keamanan di tengah masyarakat adat Rendu, Lambo dan Ndora dengan misi untuk menduduki tanah adat dan membongkar perumahan warga setempat secara paksa sangat tidak etis dan humanis.
Tindakan ini, kata dia, bertentangan dengan tugas dan fungsi aparat keamanan yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 02 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 2 UU 02 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjelaskan fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Namun Saverius menilai bentuk tindakan represif aparat keamanan terhadap masyarakat adat Rendu yang secara vulgar jelas sangat mencederai nila-nilai hukum yang berlaku dan memupus harapan publik pada aparat keamanan.
Padahal, selama ini masyarakat mengharapkan aparat keamanan dalam menjalankan tugas dan fungsinya harus bertindak secara adil, jujur, humanis, profesional, siap untuk dikritik dan transparan. Sayangnya, watak aparat keamanan yang bertindak represif tidak berhenti dan selalu ditunjukkan kepada masyarakat.
“Watak represif aparat keamanan terhadap masyarakat adat Rendu, Lambo dan Ndora yang sedang menjaga tanah ulayat merupakan tindakan yang sangat tidak mencerminkan sisi profesional, integritas, dan humanisme aparat keamanan. Tindakan represif aparat keamanan sangat jelas mengganggu keseimbangan hidup dan kedaulatan masyarakat adat Rendu dan Lambo,” ujar Saverius dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Minggu (12/12/2021) malam.
Menurut dia, perjuangan dari mayarakat adat Rendu menolak pembangunan waduk harus didukung dan ditindaklanjuti.
Serikat Pemuda NTT, kata dia, berkomitmen untuk bersama masyarakat adat Rendu melakukan perjuangan untuk menolak pembangunan waduk itu.
“Gerakan masyarakat adat Rendu wajib diapresiasi, dan didukung oleh masyarakat secara umum,” ujar Saverius.
Kronologi
Ia kemudian membeberkan kronologi dugaan tindakan represif aparat keamanan yang diperoleh SP-NTT dari masyarakat adat Rembu dan Lambo.
Menurut Saverius, tindakan represif tersebut terjadi pada Kamis, 9 Desember 2021, sekitar pukul 06.30 Wita.
Kata dia, Kasat Intel Polres Nagekeo masuk lokasi Rendubutowe untuk melakukan pembongkaran paksa rumah warga.
Kehadiran Kasat Intel ditolak masyarakat Rendu. Masyarakat setempat kemudian melakukan gerakan penolakan, khususnya para ibu.
Sikap politik mereka jelas menolak segala bentuk pembangunan Waduk Lambo yang persis di wilayah adat Rendu.
Kemudian, pada pukul 07.00 Wita, dua orang anggota Polres Nagekeo dengan menggunakan sepeda motor masuk wilayah Rendubutowe dan diikuti oleh rombongan aparat kepolisian.
Mereka memasuki lokasi masyarakat Adat Rendu dengan menggunakan mobil dan motor dari arah daerah Raja.
Pada pukul 10.30 Wita, aparat keamanan dari pasukan komando Brimob Ende juga memasuki wilayah Rendubutowe dengan menggunakan mobil.
Puncaknya pada pukul 10.45 Wita, anggota Polres Nagekeo dan Brimob Ende yang dikomandoi oleh Kasat Intel Polres Nagakeo Serfolus Tegu serta tim dari kontraktor memaksa masuk ke lokasi Lowo Se dengan melakukan perusakan pagar yang dibangun warga.
“Tindakan aparat keamanan tersebut disertai dengan watak represif yakni mencekik leher dan mendorong tubuh warga,” ungkap Saverius.
Buntut dari tindakan aparat keamanan tersebut, masyarakat melakukan aksi perlawanan yang diwarnai aksi saling dorong.
“Penghadangan masyarakat adat, dibarengi dengan aksi telanjang dada yang dilakukan oleh ibu-ibu dari Rendu,” ungkap Saverius.
Pukul 10.57 Wita, kata dia, aksi penghadangan warga dan ibu-ibu di depan pos jaga dihadapkan dengan 4 orang polisi yang berusaha membongkar paksa pagar pos.
Dalam aksi penghadangan tersebut juga terdapat polwan yang didatangkan ke Rebdubutowe untuk menghalau perempuan adat yang sedang melakukan perlawanan dengan cara menduduki halaman pos jaga.
Menurut Saverius, dampak tindakan represif aparat keamanan mengakibatkan dua orang dari masyarakat adat yaitu Lusia Anggo dan Helena Sole mengalami luka di tangan dan kaki karena berusaha untuk menjaga pagar pos agar tidak dibongkar aparat keamanan.
Masyarakat adat Rendu masih bertahan di depan pos jaga dan berdebat dengan aparat kepolisian yang kurang lebih berjumlah 20 orang.
Proses perusakan paksa yang dilakukan oleh aparat Polres Nagakeo telah mengakibatkatkan hancurnya pagar pos jaga dan baliho penolakan pembangunan Waduk Lambo di wilayah adat Rendubutowe.
Senada dengan Saverius, Polikarpus Dhase Mosa, mahasiswa asal Nagekeo yang juga anggota SP-NTT Jakarta mengatakan, tindakan represif aparat keamanan terhadap masyarakat adat hanya untuk melindungi, mengayomi dan memelihara kepentingan pemerintah dan pemodal.
Keberadaan aparat keamanan, kata Polikarpus, ternyata hanya untuk melindungi PT Brantas Abipraya sebagai kontraktor pelaksana paket II pembangunan Waduk Lambo.
Sekitar 25 orang dari anggota Polres Nagekeo yang tergabung dalam sprin Kapolres Nagekeo nomor: Sprin/ 604/XII/PAM. 3/2021, 6 Desember 2021 ditugaskan untuk mengkawal PT Brantas Abipraya.
“Pemaksaan masuk tempat tinggal masyarakat dan melakukan pembongkaran rumah warga sebagai wujud nyata adanya pemaksaan kehendak kehadiran investasi oleh pemerintah terhadap masyarakat,” tegasnya.
Sebagai putra Nagekeo, Polikarpus secara tegas menolak pembangunan Waduk tersebut. Sebab, dampak serius dari pembangunan waduk akan mengakibatkan pada ancaman kehancuran terhadap eksistensi masyarakat secara budaya dan adat istiadat, mata pencaharian masyarakat, struktur sosial masyarakat, dan identitas masyarakat adat Rendu lainnya.
Karena itu, ia meminta Kapolri RI Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo untuk segera mengevaluasi Kapolda NTT Pol Irjen Lotharia Latif.
Polikarpus juga meminta Kapolda NTT untuk segera mencopot Kapolres Nagekeo AKBP Agustinus Hendrik Fai.
“Saya juga meminta Kapolri, Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo agar menjalani jaron presisi agar terpelihara aparat keamanan yang lebih humanis dan tidak represif,” tegasnya.
Tidak hanya itu, Polikarpus juga meminta Komnas HAM, Sandra Moniaga agar segera mengintervensi kasus dugaan perampasan tanah adat di Nagekeo oleh negara.
Komnas Perempuan Dewi Kanti
juga diminta untuk mendampingi ibu-ibu yang mendapatkan ancaman kekerasan oleh aparat keamanan pada aksi penolakan kehadiran aparat kepolisian di tanah adat Rendu, Nagekeo.
“Saya juga meminta Presiden Jokowi agar mengevaluasi kinerja Kapolri atas tindakan represif aparat keamanan pada masyarakat adat, Rendu di NTT,” pinta Polikarpus.
Penulis: Ardy Abba