Kupang, Vox NTT- Vihara Pubbaratana Kupang yang terletak di Kelurahan Sikumana sudah tampak dari kejauhan.
Sepeda motor butut terus dipacu melewati jalanan berlubang, melawan terik matahari siang. Suhu Kota Kupang mencapai 32 derajat celsius, saat itu.
Di sana, Musa Lalian menyambut dan mengajak VoxNtt.com duduk di pos jaga di sebelah kanan gerbang masuk Vihara.
Sebelumnya, sudah saling kontak untuk VoxNtt.com menemuinya, Senin (29/8/2022).
Musa adalah penjaga di Vihara Pubbaratana. Pekerjaan itu sudah dilakoninya sejak Februari 2022. Sudah selama kurang lebih 9 bulan.
Jauh sebelum itu, Musa tidak pernah memasukan lamaran untuk bekerja di sana. Ia awalnya adalah seorang buruh bangunan.
Pada Januari 2022, Musa adalah salah satu buruh yang ikut mengerjakan pemasangan paving block di Vihara Pubbaratana.
Kala itu, tak sedikit pun terbesit dalam pikirannya menjadi penjaga Vihara. Ia hanya menunaikan apa yang menjadi tugasnya.
“Awalnya saya diminta jaga berapa hari saja,” ujar Musa, membuka percakapan.
Lantas bagaimana Musa yang berlatar belakang Agama Protestan menjadi penjaga Vihara?
VoxNtt.com bertemu Widya Dharmma Palla, Penyuluh Agama Buddha Kantor Kementerian Agama Kota Kupang.
Widya kemudian membenarkan cerita Musa. Menurutnya, waktu itu, umat Budha merayakan hari raya mereka. Dalam dua hari, umat keluar masuk Vihara hampir 24 jam untuk beribadah.
Pengurus Vihara lalu bersepakat mencari seorang penjaga sementara selama perayaan tersebut. Menurut Dharmma, penjaga itu diminta tinggal di Vihara selama perayaan itu, sehingga umat bisa beribadah kapan saja.
Pekerjaan Musa selama dua hari dinilai baik. Umat kemudian bersepakat memberikan pekerjaan tetap bagi Musa sebagai penjaga Vihara.
“Semua umat tahu latar belakang Musa bukan Budhis, namun tidak mempersoalkan itu,” kenang Dharmma.
Menurutnya, Musa menyanggupi tawaran tersebut. Ia kemudian tinggal di Vihara, menjaga dan membersihkan Vihara.
Musa beragama Kristen Protestan, namun ia tetap menghormati dan menaati nilai dan norma yang berlaku di Vihara. Musa merasa seperti berada di ‘rumah’ sendiri.
“Di sini nyaman, seperti di rumah,” kata Musa.
Meski begitu, Musa tetap menaati norma yang berlaku. Ia tidak akan menyentuh apa yang tidak dianjurkan untuknya.
Ketaatan dan disiplin yang dimiliki Musa menjadi nilai tambah baginya untuk dipertahankan bekerja.
Sebagai umat Kristen, Musa tetap pergi beribadah. Tidak ada larangan bagi dirinya.
Dharmma mengatakan, sebagaimana Musa menaati nilai dan norma yang berlaku di Vihara, ia juga harus tetap menjalankan ibadahnya.
“Jangan sampai karena bekerja di Vihara kemudian jadi alasan untuk tidak beribadah,” kata Dharmma.
Bagi Dharmma dan pengurus Vihara lainnya, yang terpenting adalah komunikasi.
“Kalau mau pergi ibadah sampaikan saja, kita tidak melarang,” tambah Dharmma.
Musa pun merasakan hal yang sama. Selama bekerja, dirinya selalu diizinkan untuk menjalankan kewajibannya sebagai umat Kristiani. Terkadang, pengurus Vihara yang memintanya untuk pergi beribadah.
Kerukunan itulah yang menghadirkan kesejukan dalam keragaman beragama. Dharmma dan umat lainnya tetap beribadah dengan tenang dan damai. Begitu pula Musa, ia tetap bisa bekerja dan menjalankan ibadahnya.
Hubungan baik antara umat Budha dan Ktisten di Kota Kupang bukan sekadar antara Musa dan pengurus Vihara. Lebih dari itu, hubungan dengan gereja GMIT Bukit Zaitun Sikumana pun terjalin baik.
Jarak kedua rumah ibadah itu hanya 100 meter dan saling berhadapan. Menurut Dharmma, bila ada hari raya umat Budha, pihak gereja sering menawarkan halaman untuk lokasi parkir. Bahkan gereja juga mengirimkan ucapan disaat hari raya umat Budha.
“NTT, Nusa Terindah Toleransi, Kota Kupang Kota Kasih, kami merasa seperti berada di rumah sendiri,” kata Dharmma.
Penulis: Ronis Natom
Editor: Ardy Abba