Borong, Vox NTT- Sekolah Tinggi Pastoral St. Sirilus Ruteng menggelar seminar di Sekolah Menengah Agama Katolik (SMAK) St. Peregrinus Laziosi Watumingan, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur, Sabtu (02/03/2024).
Narasumber utama dalam seminar ini adalah, RD. Hironimus Bandur salah satu dosen di Stipas Ruteng.
Ada juga narasumber lain yakni Sarina Daiman mahasiswi semester 8, serta Stefanus Charles Tarung, Silviana Dede, dan Oliva Yastri Jelita yang masing-masing mahasiswa semester 6 Stipas Ruteng.
Dalam pemaparannya, RD. Hironimus menjelaskan, seminar ini pada dasarnya berfokus pada peran orang muda dalam memperkuat kohesi sosial.
Kohesi sosial sendiri diartikan sebagai perekat yang menyatukan masyarakat, membangun keselarasan dan semangat kemasyarakatan, serta komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.
“Ini terutama kepada sesama yang berbeda agama dan kepercayaan dalam masyarakat yang cenderung pecah dan terpolarisasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu,” katanya.
RD. Hironimus mengatakan, Indonesia akan memasuki masa bonus demografi pada perayaan 100 tahun kemerdekaannya. Sebab itu, ia menilai keberadaan orang muda yang kompeten, kreatif, dan inovatif merupakan impian terbesar negara Indonesia.
Hal senada dijelaskan pemateri lain Silviana Dede. Ia mengatakan, bonus demografi adalah fenomena keuntungan ekonomi.
“Bonus demografi itu sendiri adalah letaknya usia produktif atau usia kerja pada suatu negara,” ujar Silviana.
Menurut dia, ketika negara memiliki ledakan usia-usia produktif, maka tentu saja sangat menguntungkan bagi negara tersebut. Sebab, banyaknya usia kerja tentu akan meminimalisasi ketergantungan ekonomi.
Dikatakan, bonus demografi dapat membawa berkat jika Indonesia mampu mengkapitalisasikannya. Sebaliknya bonus demografi bakal membawa kutukan apabila kualitas manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik.
Silviana menegaskan, bonus demografi akan berjalan dengan baik tergantung “bagaimana negara menerima atau mempersiapkan diri secara optimistis”.
Orang Muda Harus Bersikap Moderat
RD. Hironimus berharap orang muda mampu berdaya kreasi menggunakan perangkat critical thinking atau berpikir kritis.
Orang muda, lanjut dia, harus mampu berkendara di tengah gempuran media, teknologi, serta problematika moderasi beragama.
“Supaya tetap bersikap moderat, bijak dan tidak fanatik,” imbuh RD. Hironimus.
Sementara itu, Stefanus Charles Tarung narasumber lain dalam pemaparannya menjelaskan, setidaknya ada empat nilai dasar untuk mewujudkan moderasi beragama.
Keempatnya yakni komitmen kebangsaan, toleransi, antikekerasan, dan menghargai kultur lokal.
Stefanus pun mencontohkan praktik moderasi beragama yang baik adalah di SMAN 1 Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, tempat ia melakukan praktik mengajar.
Di sekolah tersebut, kata dia, sangat menjunjung tinggi moderasi beragama dan menghargai sikap toleransi.
“Stop bullyng atau antikekerasan di sana (SMAN 1 Langke Rembong) patut diacungi jempol. Ini adalah suatu fenomena yang dapat memupuk sikap moderat dalam moderasi beragama,” pungkas Stefanus.
Siapa Orang Muda?
Narasumber lainnya, Oliva Yastri Jelita menjelaskan, orang muda merujuk pada kelompok remaja generasi milenial dan generasi Z. Orang muda yang dimaksud adalah kelompok masyarakat yang lahir antara 1994-2012.
Menurut Oliva, orang muda dalam segala perkembangannya merupakan agen of changes atau agen perubahan, yang membawa dampak baik bagi negara dan bangsa.
“Orang muda yang berintelek, aktif, kreatif, dan inovatif, mampu bersosialisi dan penuh percaya diri merupakan awal yang baik sekaligus langkah pasti dalam menapaki perjuangan menuju Indonesia sejahtera, terutama menjelang bonus demografi dalam perayaan 100 tahun Indonsia merdeka 2030-2045,” katanya.
Sementara itu, Sarina Daiman narasumber lain mengatakan, untuk mewujudkan moderasi beragama maka harus melakukan praktik yang baik di kalangan anak muda.
Sebagai contoh di tempat Kerja Kuliah Nyata-nya, lembaga Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Keuskupan Ruteng, ada program paroki ramah anak.
Program ini menurut Sarina, menjadi wadah pelatihan untuk mengajarkan pada anak agar tidak melakukan kekerasan.
Program ini memberikan kontribusi untuk menanamkan nilai-nilai moderasi beragama atau antikekerasan dan toleransi.
Kontributor: Silviana Dede