Oleh: Prof. Dr. Drs. Fransiskus Bustan, M.Lib
Dosen Pascasarjana Undana Kupang
Tidak dapat disangkal lagi. Bahasa mengemban peran sangat penting dalam memberikan pakaian arti atau pakaian makna terhadap eksistensi kehidupan kita sebagai manusia, terutama dalam kapasitas peran sosial sebagai anggota suatu masyarakat.
Kebermaknaan peran bahasa menyatu dan menyata secara empiris dalam penggunaannya sebagai sarana komunikasi.
Hal itu dikarenakan, dari berbagai jenis media komunikasi yang digunakan dalam konteks kehidupan suatu masyarakat, bahasa dipandang sebagai sarana komunikasi paling efektif.
Bahasa dalam penggunaannya sebagai sarana komunikasi dalam konteks kehidupan suatu masyarakat, selain dipandang sebagai sebuah realitas (reality), juga dipahami sebagai sebuah wadah (container) makna yang mengungkap realitas lain di luar dirinya.
Mencermati muatan makna pesan yang terkandung di dalamnya, realitas yang diungkap melalui bahasa dapat dipilah dan dibedakan atas realitas sebenarnya (true reality) dan realitas tidak sebenarnya atau realitas palsu (false reality).
Realitas sebenarnya adalah realitas yang esensi isi pesan sesuai dengan kenyataan sebenarnya, sedangkan realitas palsu adalah realitas yang esensi isi tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
Kedua jenis realitas tersebut merupakan dua kutub tanda linguistik yang saling bertentangan secara maknawi.
Seandainya realitas termuat melalui bahasa yang digunakan dalam suatu peristiwa komunikasi adalah realitas palsu, maka bahasa yang digunakan itu dipandang sebagai sarana pengungkap dusta.
Pemahaman demikian bertalian erat dengan pandangan pakar semiotik atau ilmu tanda, Umberto Eco. Dia adalah sosok terkemuka yang membidani kelahiran teori dusta dalam perspektif ilmu tanda.
Salah satu referensi utama yang menjadi sasaran pencandraannya adalah bahasa dalam penggunaannya sebagai sarana komunikasi.
Merujuk pada teori dusta yang dikemukakan Eco, ditemukan fenomena penggunaan bahasa sebagai sarana pengungkap dusta dalam berbagai ranah kehidupan kita sebagai anggota suatu masyarakat, tidak terkecuali dalam ranah adat.
Fenomena penggunaan bahasa sebagai sarana pengungkap dusta dalam ranah adat dapat disaksikan, antara lain, dalam konteks perkawinan adat Manggarai.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaku penulis beberapa waktu silam, manifestasi penggunaan bahasa sebagai sarana pengungkap dusta dalam perkawinan adat Manggarai tercermin dalam teks lagu rakyat Manggarai berjudul, Bokak Kraeng Tongka yang secara leksikal berarti ‘Leher Tuan Juru Bicara’.
Kata bokak berarti ‘leher’, kata kraeng berarti ‘tuan’, dan kata tongka berarti ‘juru bicara’ yang dalam seringkali diakronim ‘jubir’.
Sesuai konteks situasi yang melatari pendendangan, juru bicara dimaksud dalam teks lagu Bokak Kraeng Tongka adalah tongka tei ‘juru bicara yang memberi belis’ yang menunjuk pada juru bicara dari keluarga laki-laki sebagai keluarga pengambil istri (wife taking family) yang dikenal dengan istilah anak wina dalam bahasa Manggarai.
Juru bicara dari keluarga perempuan sebagai keluarga pemberi istri (wife giving family) yang dikenal dengan istilah anak rona dalam bahasa Manggarai disebut tongka tiba ‘juru bicara yang menerima belis’ dalam bahasa Manggarai.
Juru bicara keluarga anak rona disebut tongka tiba karena dia bertugas menerima belis yang diberikan tongka tei mewakili keluarga anak wina sebagai keluarga penerima istri dalam konteks perkawinan adat Manggarai.
Peran tongka tei dan tongka tiba dalam konteks perkawinan adat Manggarai sangat menentukan kelancaran alur komunikasi dalam proses negosiasi belis.
Kepiawaian tongka tei dalam memilih kata dan menata kalimat bisa meluluhkan hari tongka tiba dalam proses negosiasi menyangkut belis.
Akan tetapi, tidak jarang tongka tei melakukan trik dan intrik dengan cara membual guna mengecoh tongka tiba agar merima lamaran dari pihak laki-laki dengan besaran belis yang relatif terjangkau.
Lagu Bokak Kraeng Tongka adalah salah satu lagu daerah Manggarai yang biasa didendangkan tongka tiba sebagai juru bicara mewakili anak rona sebagai keluarga pemberi perempuan.
Tujuan lagu itu didendangkan untuk menyindir bualan tongka tei karena apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
Dengan perkataan lain, menyebut diri dari keluarga berada, tetapi tidak mampu membayar belis yang diminta pihak keluarga anak rona sebagai keluarga pemberi istri.
Seperti disinyalir dalam bait pertama lagu Bokak Kraeng Tongka, jika seorang perempuan yang berasal dari wilayah Manggarai bagian tengah menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari wilayah Kolang, kehidupan keluarga mereka niscaya sejahtera.
Mengapa? Karena salah satu sumber mata pencaharian hidup utama orang Kolang adalah menanak gula aren (kokor gola).
Dalam kapasitas perannya sebagai istri dan ibu rumah tangga, perempuan asal Manggarai tengah tidak perlu bersusah payah mencari uang untuk membeli gula karena gula batangan sudah tersedia hasil produksi sendiri.
Akan tetapi, pengalaman yang ditemuinya setelah menikah tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
Sebagai seorang istri dan sekaligus ibu rumah tangga, dia sangat merasakan kepahitan hidup yang memaguti dirinya.
Mengapa? Karena dia mesti menjelajah dari satu kampung ke kampung yang lain (labok neteng kampong) mencari kerja demi mendapat upah berupa gula batangan (ngola pala gola malang).
Dalam bait kedua diinformasikan, ayah mertua (amang) berwajah tampan dan bertubuh tambun seperti postur laki-laki keturunan Cina yang dikenal dengan sebutan baba dalam bahasa Manggarai (amang dehau wa cama neho baba).
Akan tetapi, hal yang ditemui setelah menikah tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
Ayah mertuanya ternyata berperawakan sangat kurus dan jarak tulang rusuk tampak jelas secara kasat mata karena hanya dibalut kulit (amang lanta racap).
Dalam bait ketiga diungkap, ibu mertua (inang) berparas cantik dengan dandanan rambut rapi setiap hari seperti tampilan perempuan keturunan Cina (inang dehau sina cama neho Cina).
Akan tetapi, hal yang ditemui setelah menikah tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
Ibu mertuanya ternyata berperawakan sangat kurus dengan kondisi rambut yang acak-acak karena jarang tersentuh sisir (inang rucuk ringgam).
Terlepas dari parameter tempat yang menjadi contoh, mencermati esensi isinya, bahasa yang digunakan dalam teks lagu Bokak Kraeng Tongka menyiratkan makna pesan kepada kaum perempuan agar tidak boleh cepat terjebak dengan rayuan gombal kaum laki-laki dalam soal bercinta.
Karena apa yang dikatakan kaum laki-laki tatkala membangun hubungan cinta belum tentu sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
Bentuk dan makna bahasa yang digunakan dalam teks lagu Bokak Kraeng Tongka ibarat sebuah ‘iklan cinta’ yang dilakonkan dan diperagakan seorang laki-laki dalam meluluhkan hati seorang perempuan yang begitu sarat dusta.
Terjebak oleh rayuan gombal laki-laki melalui kata-kata manis yang terasa nikmat ketika disimak, tanpa tedeng aling-aling perempuan bersedia menikah.
Namun nasib malang menimpanya setelah menikah. Kondisi sosial-ekonomi keluarga suaminya ternyata sangat memperihatinkan karena masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Selain ditandai dengan kekurangan pangan yang dianalogikan dengan kesulitan memperoleh gula batangan, juga tergambar dari kondisi fisik ayah dan ibu mertuanya yang berbadan kurus akibat kekurangan gizi.
Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Bubur tidak mungkin dapat dirubah lagi menjadi nasi.
Terlepas dari guratan maknanya ditilik dari tataran leksikal, fenomena penggunaan bahasa sebagai sarana pengungkap dusta yang disajikan dalam teks lagu rakyat Bokak Kraeng Tongka menyiratkan nilai didaktis.
Siratan nilai didaktis yang terkandung di dalamnya adalah agar kita jangan berdusta, karena jika kita berdusta, maka bisa saja ada pihak tertentu yang menjadi korban. Korban yang dihadirkan dalam teks lagu rakyat itu adalah kaum perempuan.
Sebagaimana halnya dengan cerita rakyat, kisah yang diulas dalam teks lagu Bokak Kraeng Tongka bisa saja merupakan hasil rekayasa nalar orang Manggarai dalam menengarai pola perilaku verbal yang biasa ditampilkan dalam konteks perkawinan adat Manggarai.
Karena siapa pencipta lagu rakyat tersebut sulit ditelusuri jejaknya secara historis. Orang Manggarai menerimanya sebagai bagian dari konvensi sosial tetesan sejarah masa lalu yang diwariskan leluhur.
Dengan demikian, teks lagu rakyat semacam itu dapat digunakan sebagai salah satu sumber rujukan dalam pembelajaran nilai pendidikan karakter berbasis budaya lokal Manggarai yang berkenaan dengan soal dusta.
Proses pembelajaran akan menarik karena diawali dengan menyajikan lagu itu sebelumnya dilakukan penggalian nilai pendidikan karakteristik dengan menghadirkan dua realitas yang bertentangan secara maknawi.
Mari kita coba. Karena bahasa yang digunakan dalam teks lagu rakyat adalah salah satu sumber daya potensial yang dapat digunakan sebagai piranti pembentukan budi pekerti kepada masyarakat yang menjadi anggota guyub tutur bersangkutan.