Mbay, Vox NTT- Kasimirus Dhoy dan Gaspar Lepa adalah dua sahabat lama. Keduanya akhirnya bertemu kembali setelah berpisah selama lebih dari tiga dekade.
Pertemuan Kasimirus dan Gaspar pada Rabu (7/8/2024) di Danga Au membawa kembali kenangan masa kecil saat keduanya masih duduk di bangku Sekolah Dasar Katolik (SDK) Wolorae, sekolah favorit di Mbay, Kecamatan Aesesa, pada tahun 1980-an.
Setelah tamat sekolah dasar, Kasimirus dan Gaspar memilih jalan hidup yang berbeda. Kasimirus melanjutkan pendidikan di Seminari Todabelu Mataloko. Sedangkan Gaspar, karena alasan tertentu, memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah. Keputusan ini menjadi titik awal perjalanan Gaspar menjadi petani.
Gaspar yang masih muda meninggalkan kampung halamannya di Danga Au dengan bekal uang Rp1.500 hasil penjualan dua ekor ayam, untuk mencari saudara kandung ibunya di Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada.
Perjalanan ini kemudian membawanya ke Kabupaten Manggarai, di mana ia mulai terjerumus ke dalam dunia minuman keras dan perjudian.
Tak lama, Gaspar kembali ke kampung halamannya dan bertemu dengan istri tercintanya. Namun, kehidupan di kampung yang serba sulit membuatnya kembali meninggalkan gadis pujaannya dan mengikuti ajakan temannya ke Malaysia Barat melalui jalur ilegal.
Mereka berangkat dengan kapal laut dan berhenti di Pelabuhan Tanjung Balai. Di sana, mereka dijemput oleh jaringan mafia perdagangan orang dengan speed boat untuk masuk ke wilayah Malaysia.
Hampir mendekati perbatasan Indonesia-Malaysia, Gaspar dan teman-temannya dipaksa melompat dari speed boat dan berenang menuju truk tertutup (lori) yang mengantarkan mereka ke Bidor untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit di Teluk Intan, Malaysia.
Di Malaysia, Gaspar kemudian bekerja di perusahaan peternakan ayam selama tiga tahun sebelum memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan memulai kehidupan baru dengan istrinya.
Sementara itu, Kasimirus telah menempuh pendidikan dan karier yang sukses, hingga akhirnya menjadi Kepala Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Kabupaten Nagekeo.
Saat ini, Gaspar memilih untuk mengurus ternak dan sawah peninggalan orang tuanya.
Pertemuan ini menjadi momen yang sangat emosional bagi keduanya, mengingat perjalanan hidup yang telah mereka lalui.
“Kami mungkin telah menempuh jalan yang berbeda, tetapi persahabatan kami tetap kuat,” ujar Kasimirus dengan haru. Gaspar pun menambahkan, “meskipun hidup saya penuh lika-liku, bertemu kembali dengan sahabat lama membawa kebahagiaan tersendiri.”
Kisah mereka menjadi pengingat bahwa persahabatan sejati mampu bertahan melewati waktu dan rintangan hidup yang beragam.
Penulis: Patrianus Meo Djawa