Ruteng, Vox NTT – Wakil Ketua KSP Kopkardios, Kanisius Teobaldus Deki, mengkritik keras kehadiran Koperasi Merah Putih yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto.
Menurutnya, kehadiran koperasi tersebut berpotensi merusak koperasi-koperasi lain yang telah berkembang secara mandiri tanpa bantuan dari pemerintah.
“Misalnya sekarang, Presiden Prabowo membentuk Koperasi Merah Putih. Sebenarnya, ini merusak koperasi yang sudah bertumbuh secara mandiri tanpa support dari pemerintah,” ujar Deki dalam konferensi pers di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis, 13 Maret 2025.
Meski demikian, Deki meyakini bahwa kehadiran Koperasi Merah Putih tidak akan mengancam eksistensi Kopdit yang telah ada.
Hal ini karena Kopdit memiliki sumber daya yang telah dibangun secara mandiri dan para anggotanya memiliki militansi tinggi dalam menjaga dan mengembangkan koperasi kredit tersebut.
Deki menjelaskan, koperasi pada dasarnya merupakan sebuah gerakan sosial yang tumbuh sebagai budaya tanding melawan sistem negara yang sangat dominan.
Koperasi memiliki kemandirian modal dan didorong oleh semangat gotong royong. Namun, belakangan ini negara justru membangun regulasi-regulasi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar koperasi.
Saat ini, kata Deki, ada isu tentang perbedaan antara koperasi open loop (koperasi yang beraktivitas di sektor jasa keuangan) dan koperasi close loop (koperasi yang tidak terlibat dalam aktivitas keuangan).
Hal ini dianggap sebagai intervensi negara yang membatasi ruang gerak koperasi. Salah satu dampaknya adalah pembatasan keanggotaan yang sebelumnya memungkinkan anak-anak untuk bergabung, kini tidak lagi diperbolehkan.
Padahal, menurut Deki, keikutsertaan anak-anak dalam koperasi penting untuk proses regenerasi dalam sistem koperasi itu sendiri.
Deki menilai, negara tidak cukup mendukung koperasi kredit (kopdit) yang telah ada. Sistem koperasi kredit ini berasal dari negara-negara maju di Eropa, namun di Indonesia justru tidak ramah terhadap koperasi kredit.
“Bahkan, pemerintah seolah ingin menghentikan, memangkas, dan merusak eksistensi koperasi ini,” ujar Deki.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa banyak koperasi di seluruh Indonesia merasa teraniaya oleh regulasi pemerintah yang semakin membebani, seperti pajak dan aturan lain yang mengancam keberlangsungan koperasi.
“Tugas negara semestinya adalah memperkuat koperasi yang sudah ada, bukan menciptakan koperasi baru atau malah merusak koperasi yang sudah berjalan dengan baik,” tegas Deki.
Ia menambahkan, salah satu permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia adalah ketidakmauan untuk berproses. Mental instanisme menjadi salah satu faktor yang membuat banyak orang memilih rentenir, tanpa mempertimbangkan risiko yang ada, hanya karena mereka membawa uang.
Spirit semacam ini menjadi tantangan yang terus dilawan oleh Kopkardios dengan memberikan pendidikan kepada anggotanya.
Melalui kunjungan ke berbagai kampung, kata Deki, Kopkardios mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam program pendidikan gratis yang mereka tawarkan.
Dengan visi “Option For the Poor“, Kopkardios berupaya menciptakan kesadaran kolektif di masyarakat tentang pentingnya menghindari praktik-praktik yang merugikan.
Deki menilai tidak adanya peran aktif dari pemerintah dalam menanggulangi praktik rentenir yang memberatkan masyarakat kecil dengan bunga tinggi. [VoN]