Ruteng, Vox NTT – Studi banding yang dilakukan oleh Bupati Manggarai, Herybertus G.L. Nabit, bersama rombongan ke Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong di Tomohon, Sulawesi Utara pada 9 Maret 2025 lalu, mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak.
Dosen dan praktisi hukum, Siprianus Edi Hardum menyebutkan, kegiatan tersebut bisa dimaknai sebagai bentuk tekanan terhadap masyarakat Poco Leok, Manggarai, yang menolak proyek pembangunan geotermal di wilayah mereka.
Edi menjelaskan, studi banding tersebut sebenarnya melibatkan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompinda), yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).
Dalam studi banding itu, rombongan yang dipimpin oleh Bupati Nabit terdiri dari Kapolres Manggarai, Kajari Manggarai, Dandim, dan sejumlah anggota DPRD yang dibiayai oleh PT PLN.
“Saya menilai studi banding itu tidak efektif. Sekarang sudah terjadi pro dan kontra soal pembangunan Geotermal di sana,” ujar Edi dalam keterangannya yang diterima media pada Sabtu, 15 Maret 2025 malam.
Edi juga menilai studi banding ini memberi pesan kepada warga Poco Leok dan masyarakat umumnya bahwa: pertama, pihak PLN dan Pemkab Manggarai akan jalan terus, tidak akan mengindahkan semua seruan penolakan masyarakat.
Kedua, siapa pun yang menolak tidak akan sukses karena bukan hanya berhadapan dengan PLN dan bupati saja tetapi Forkompinda, di mana di sana ada pimpinan penegak hukum yakni Kajari dan Kapolres serta Dandim.
“Jelas ini bisa dinilai menutup jalan bagi pihak penolak untuk meminta perlindungan hukum dalam semua usaha mereka menolak pembangunan geothermal di sana,” ujar Edi.
Ia menyebut aneh dengan studi banding yang melibatkan Forkompinda ini. Bila mau studi banding, kata Edi, seharusnya cukup pihak PLN dan bupati serta timnya.
Edi menyayangkan Kapolres Manggarai, Kajari Manggarai dan Komandan Kodim 1612 Manggarai ikut dalam tim ini. Sebab, mereka adalah aparat penegak hukum yang harus bersikap netral dalam pro dan kontra pembangunan geotermal Poco Leok.
“Dengan hadirnya pimpinan aparat penegak hukum dalam studi banding itu, masyarakat akan takut dan ragu untuk meminta perlindungan hukum,” tegasnya.
Karena itu, ia mendesak Kapolri agar menegur dan bila perlu memberi sanksi kepada Kapolres Manggarai yang ikut dalam tim studi banding itu.
Edi juga mendesak Jaksa Agung agar menegur serta memberi sanksi Kajari Manggarai yang ikut dalam tim itu.
Demikian juga Pandam Udayana atau bahkan Bapak Panglima TNI agar menegur Komandan Kodim Manggarai yang ikut dalam rombongan itu.
“Beliau-beliau yang ikut keliru besar,” tegasnya.
Ia mengingatkan Forkompinda Manggarai, khususnya, dan se-NTT umumnya, bahkan seluruh Indonesia, bahwa suburnya korupsi di daerah sejak dulu dilanggengkan oleh adanya Forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).
Forum ini tidak efektif dalam mewujudkan masyarakat yang bebas dari tindak pidana korupsi, karena lebih berfungsi sebagai tempat untuk mengakomodasi persengkokolan di bawah payung keamanan, ketenteraman, dan ketegangan masyarakat.
Di tingkat kabupaten, forum ini terdiri dari Bupati/Wakil Bupati, Ketua DPRD, Kapolres/Wakapolres, Dandim, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), dan bahkan Ketua Pengadilan Negeri setempat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak pejabat daerah yang tidak terjerat korupsi. Bahkan, jika ada yang terjerat, biasanya hanya pejabat setingkat kepala dinas, sementara bupati atau wakil bupati hampir tidak tersentuh.
“Saya tidak sedang menuduh Forkompinda Manggarai melakukan korupsi tetapi sekegar mengingatkan,” tegasnya.
Masyarakat, kata Edi, bisa saja menduga bahwa Forkompinda Manggarai mendapat sesuatu atas studi banding di Sulawesi Utara atau bahkan keberadaan proyek geotermal di Poco Leok.
Karena itu, pimpinan aparat penegak hukum perlu menjaga jarak dalam setiap proyek yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
Edi meminta kepada masyarakat Poco Leok yang merasa dirugikan dengan kehadiran proyek geotermal agar terus berjuang dengan cara-cara tidak melanggar hukum.
“Masyarakat Indonesia pasti bersama kalian selama perjuangan kalian untuk mempertahanlan hak kalian,” kata Edi.
Terpisah, Bupati Nabit mengatakan, di Kabupaten Manggarai tengah melakukan proses perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) seperti Kota Tomohon.
“Jadi kami mau belajar di Lahendong bagaimana PLTP Lahendong ini mengeliminir dampak negatif dari proses pembangunan dan kemudian bagaimana dampak sosialnya. Karena kita tahu bersama semua proyek pasti mempunyai dampak. Tidak hanya positif tapi juga ada dampak negatif,” terangnya sebagaimana dilansir Multi Verum. [VoN]