*Cerpen Sonny Kelen
Angin yang sesah memikul desahnya dalam keranda resah yang gesa. Sebelum jauh lenyap, sayap-sayap yang gemetar singgah di hidung seorang wanita yang menghirup bauh tanah yang membentuk suaminya dan dosa yang dibentuknya sendiri pada beberapa waktu silam yang kelam. Selalu, ketika mengingat semuanya itu dadanya terasa sesak. Terutama memori tentang kejadian ia dan suaminya melarang putera sulung mereka untuk mengikuti Tuhan, ketika putera mereka mengutarakan niat baiknya itu. Sejak saat itu, ia selalu merasa dirinya sungguh rapuh karena gagal menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya. Sesungguhnya ketika hidup mereka berubah terhadap budaya dan petuah leluhur, ia tak pernah sedikit pun melewati hari-harinya tanpa dirundung rasa bersalah dan kesakitan yang perih. Seperti saat ini. Sambil memintal benang untuk menjahit jubah anaknya yang beberapa hari lagi akan di tahbiskan sesungguhnya ia pun sedang menjahit hatinya yang sobek oleh kenangan-kenangan yang pahit. Air mata yang membentuk sungai kecil dipipinya selalu bermuara dibibirnya mengingat kejadian Sembilan tahun lalu ketika putera mereka meminta untuk hadir dalam mengikuti acara kaul kekal yang diterima olehnya. Bukan hanya kejadian itu saja, tetapi berkali-kali semenjak pertama kali putera mereka meminta untuk melanjutkan pendidikan disebuah lembaga calon imam dilembah bernama Hokeng itu. Ia ingat bagaimana sikap suaminya dan sikapnya sendiri ketika mendengar niat baik putra mereka itu.
***
Sembilan tahun yang lalu.
Diruang makan suatu malam, ketika sedang duduk makan sebagaimana lazimnya, aku selalu menikmati masakan ibu dengan penuh wibawa. Bagiku menikmati masakan ibu sama artinya mendengarkan ibu dengan cara yang berbeda. Sesekali ayah memuji ibu karena masakannya yang membuat ayah selalu rindu untuk pulang makan di rumah walaupun kesibukan ayah yang sering memaksanya untuk makan diluar. Namun ayah selalu punya caranya sendiri untuk mengatasi kesibukan itu demi menikmati masakan ibu di rumah. Disela-sela suasana yang akrab itu, aku menjadikannya sebagai waktu yang tepat untuk menceritakan keinginanku yang sejak lama aku inginkan waktu di bangku SD.
“ Ayah, ibu aku ingin melanjutkan pendidikanku di Seminari. Aku harap ayah dan ibu mengizinkannya.”
Suasana tiba-tiba berubah. Suasana yang begitu akrab kini berubah menjadi sesuatu yang tidak kutahu namanya. Lebih tepatnya suasana sehabis bertengkar. Ayah yang tadinya dengan senyum menikmati masakan ibu, kini berhenti menikmati masakan itu. Seolah masakan ibu tidak begitu enak. Sedangkan ibu yang tadinya senyum bangga karena dipuji oleh ayah karena masakannya, kini seperti seorang istri yang barusan selesai dimarahi oleh suaminya. Dari ekspresi ayah dan ibu itu aku tahu bahwa ayah dan ibu tidak setuju dengan keinginanku itu. Pemilik Surga ditelapak kaki itu hanya memandang ayah dengan harapan supaya ayah berbicara sesuatu. Namun ayah tidak berbicara apa-apa. Akhirnya ibu yang mengalah dan memutuskan untuk berbicara.
“Nak, ayah dan ibu bangga dengan niat sucimu itu. Tapi alangkah baiknya engkau melanjutkan pendidikan SMA diluar dulu setelah itu, engkau melanjutkan pendidikanmu di tempat yang engkau inginkan itu.”
“Benar kata ibumu.” Sambung ayah cepat.
Perempuan yang kupanggil ibu itu hanya diam. Namun ia sadar, kebahagiaan yang melampaui di hatinya atas apa yang dibicarakan barusan oleh putranya itu adalah sebuah pilihan yang melawan kodratnya. Seakan labium pada wajah tulus yang dikenal anaknya setiap hari berubah menjadi suatu ancaman meski ia ingin sekali memeluk putranya walau pun tak ada yang mengerti. Bahkan oleh suaminya sendiri.
Suasana kembali hening. Ayah tiba-tiba meninggalkan ruang makan tanpa menghabiskan makan malamnya. Sedangkan ibu hanya diam seperti seseorang yang bisu. Kutatap ibu dengan penuh hati-hati dan berusaha membacakan kebisuan ibu yang penuh tanya itu. Pemilik Surga di telapak kaki itu mendengus lembut seperti pijakan yang lambat diderai setelah niat baik harus digagalkan dengan bermacam alasan.
“Nak, kau sudah semakin dewasa. Sudah mulai paham tentang yang baik untuk masa depanmu.” Akhirnya ibu yang membuka pembicaraan. Barangkali inilah yang dinamakan kesayangan.
“Bu, aku tahu itu. Bukankah ini juga merupakan jalan terbaik untuk masa depanku?”
“Tidak nak, masih banyak jalan lain yang bisa kau temukan untuk masa depanmu. Tapi bukan yang ini.” Aku begitu kaget dan seakan tidak percaya perempuan yang kupanggil ibu itu tiba-tiba berubah seperti ini. Tapi selalu ada sungai kecil yang bermuara dipipinya setiap kali kata-kata yang ia ucapkan itu seakan seperti belati yang menghentak jiwanya pada sebuah badai yang mengikatnya.
“Mengapa Bu?”
“Kelak kau akan mengerti nak.” Jawab ibu singkat
***
Masih pagi. Embun belum saja lekar dari daun sebelum mentari menggugurkan sisa-sisa mimpi yang belum juga kelar. Di beranda rumah masih tetap dengan ritual yang sama: secangkir kopi dan koran langganan ayah diatas meja. Anak-anak sibuk ke sekolah dan para pengiris tuak dengan sepucuk harapan seperti yang sudah-sudah, semoga hari ini bisa menjadi lebih baik dari kemarin. Semuannya berlalu dengan cepat tentang yang pergi juga yang pulang. Seperti Sesutu yang terjadi tanpa disadari. Seperti hujan yang menjarum di kepala. Perasaan-perasaan di dalam diri mendadak seperti langit mendung. Sesekali aku melihat ayah dengan matanya yang lugu, sibuk berkenalan dengan para koruptor yang ada dihalaman koran itu.
“Ahh, bilangnya mau menyejahterakan rakyat, tapi nyatanya mereka sibuk buat rumah baru, dengan garasi-garasi besar berisi beberapa mobil mewah.” Komentar ayah. Aku hanya tersenyum mendengar komentar ayah itu. Kopi diseruputnya habis dan koranpun selesai dibacanya.
“Nak, jika nanti kau menjadi manusia, jangan seperti para koruptor di negeri ini. Mereka hanya abal-abal dengan janji palsu yang enak didengar tapi perbuatan mereka sama seperti orang yang tidak berpendidikan. Barangkali orang yang tidak berpendidkan masih lebih baik, asalkan mereka tidak tahu menipu.” Jelas ayah.
“Saya tahu itu ayah, tapi aku tidak tertarik dengan profesi mereka.” Jawabku.
“Mengapa begitu?” Sambung ayah cepat.
“Karena aku lebih tertarik dengan pilihanku saat ini yakni, panggilan” Ayah hanya diam setelah aku mengatakan keinginanku itu.
***
Semua seolah mati. Angin ikut mati. Bintang-bintang di langit perlahan meredup. Pesona senja sudah hilang. Hanya gelap. Pengap. Bunyi-bunyian bertukar tangkap. Hanya ada air mata. Aku tidak percaya kalau ayah dan ibu mengizinkanku melanjutkan pendidikan di Seminari Hokeng. Di depan rumah untuk terakhir kalinya aku melihat ayah dan ibu.
“Nak, jalan yang kau pilih ini tidak mudah seperti yang kau bayangkan.” Pesan ayah. Ibu hanya menangis seperti tidak merelakan kalau aku pergi. Ibu memelukku dengan pelukan hangat yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
“Nak, pintu rumah selalu terbuka untukmu. Jika gagal pada jalanNya, pulanglah selagi pintu rumah ini masih terbuka untukmu.” Bisik ibu dengan aroma nada paling lembut. Aku meninggalkan ibu dan ayah di depan rumah malam itu.
***
Tak ada yang berubah. Ayah dengan koran langgananya di temani secangkir kopi dan ibu dengan senyum lugunya yang penuh rindu. Tapi sesungguhnya ada satu hal yang berubah. Tidak ada percakapan sedikitpun dari ayah atau ibu. Ayah hanya terdiam. Beberapa saat kemudian, setelah menghembuskan napasnya keras-keras ke udara menerpa bagian teratas kepala, ia mendorong halus tubuhku. Seketika mata ayah dan ibu saling membenturkan tatapan. Itu tatapan yang paling dalam yang pernah aku temui dari mata ayah.
“ Sudah berapa lama kau meninggalkan kami?” ujar ayah dengan nada suara yang tetap tenang. Aku bisa melihat ia menahan senyum tetap mendiami sudut-sudut bibirnya.
“ Sudah sekian lama, ayah.” Jawabku polos. Ayah memeluk tubuhku. Lebih erat dari pelukan sebelumnya. Aku tahu ayah sangat mencintaiku. Namun ada yang lebih lain setelah itu. Sejak kepulanganku dari biara, ayah dan ibu tiba-tiba mendadak seperti petugas keamanan yang selalu memantau pergerakanku hampir setiap saat. Bahkan beberapa kali, usai mandi aku mendapatkan ibu sedang berdiri mengawasiku di depan pintu kamar mandi. Aku lalu tiba-tiba merasa seperti seorang narapidana yang harus di kontrol setiap saat. Sampai aku masuk ke dalam kamarku berdeklik sedikit, barulah ia akan meninggalkanku. Menghadapi situasi yang amat menggelikan itu, aku berusaha menenangkan diri dengan duduk di beranda rumah, membaca puisi-puisi dari Jokpin dan sesekali mengamati ayah dan ibu.
Memang ada sesuatu yang aneh. Aku penasaran dengn tingkah ayah ataupun ibu sejak kepulanganku dari biara. Maka suatu siang, di ruang makan aku memberanikan diriku untuk bicara mengenai tingkah ayah dan ibu belakangan ini.
“Bu, mengapa aku selalu diawasi setiap saat bahkan detik setelah kepulanganku dari biara?”
Ibu hanya diam. Entah kenapa, jantungku berdebar-debar saat itu sehingga deru napasku tak teratur setelah aku bertanya kepada ibu. Mungkin aku tidak pernah lancang seperti ini sebelumnya dengan pertanyan seperti itu terhadap ibu.
“Maafkan ibu, nak.” Hanya itu jawaban ibu. Tiba-tiba air mata ibu jatuh.
“Sebenarnya ibu melakukan semuanya itu, karena ibu tidak ingin kau pergi lagi. Sudah cukup kami menderita dengan keadaan seperti ini.”
“Apa maksud dari semuanya ini, Bu.” Nadaku mulai meninggi.
“Seandainya kau tahu, nak.” Sambung ibu dengan sedikit pelan. Ayah hanya menunduk seakan ia ingin berlari dalam keadaan seperti itu. Baru kali ini aku melihat ayah seperti itu. Tatapan mata ayah kulihat kali ini tidak seperti sebelumnya. Sesuatu sekali. Ia seperti menydari suatu kesalahan besar yang telah ia lakukan. Seperti bongkahan es yang patah.
“ Nak, kau harus tinggalkan panggilanmu itu.” Kata ibu. Aku seperti tidak percaya dengan ucapan ibu itu.
“Mengapa Bu.” Tanyaku. Masih seperti yang sudah-sudah. Ibu hanya menangis.
“Kau terlalu sibuk dengan dirimu sendiri sehingga kau tak pernah tau apa yang aku dan ibumu rasakan. Kau abaikan, seakan kau tak punya rasa. Kau tahu betapa aku dan ibumu mencintaimu.” Tiba-tiba ayah membuka pembicaraan.
“Nak, sebenarnya ayah dan ibu tidak merestuimu melanjutkan panggilanmu. Dalam adat kita kau harus menerus wasiat leluhur dalam suku kita, nak.”
“Mengapa ayah? Bukankah aku masih mempunyai tiga adik laki-laki yang lain.”
“Tidak, nak. Dalam adat kita anak sulunglah harus menjadi kepala suku dalam suku kita. Keputusan ini sudah diwariskan oleh leluhurmu.” Aku seakan-akan tidak percaya dengan apa barusan ayah katakan itu.
“Lebih dari itu, kau harus meneruskan apa yang belum ayah lakukan untuk ibumu. Belis dari ibu. Jika kau tidak menerima keputusan ini nasib ibumu tidak tahu seperti apa ke depan, karena beberapa bulan lalu saudara dari ibumu datang dan meminta pertanggung jawaban dari ayah. Ini soalmu nak.”
“Tidak. Tidak ayah. Sekali-kali tidak.” Sementara itu mempererat genggaman, ibu seakan memohon supaya aku terima apa yang barusan ayah katakan. Di kelopak matanya gunda telah menjelma air mata lebih dari yang sebelumnya. Perasaan semakin luruh. Lidah terasa amat keluh sehingga tak ada kata yang berhasil ia ucap selain air mata. Namun ia memaksa untuk bicara.
“Nak, apakah kau tidak kasihan dengan ibu dan ayah juga adik-adikmu? Maafkan ibu, nak karena setelah kepulanganmu dari biara ibu selalu mengawasimu setiap waktu karena ibu takut kau pergi lagi.” Tak ada jawaban dariku. Aku tahu, menjawab pertanyaan itu sama seperti mencungkil lagi luka di hatiku. Aku meninggalkan ayah dan ibu, kemudian aku pergi ke tempat di mana orang-orang memberi makan kepada leluhur pada sebuah pohon beringin. Dalam perjalanan itu sesekali kudengar suara burung gagak mengikuti seakan mereka juga setuju dengan apa yang barusan dikatakan oleh ayah dan ibu.
***
Aku masih duduk di ruang St. Paulus, sendiri membayangkan tentang ayah dan ibu. Apakah mereka baik-baik saja. Setelah kejadian itu aku tidak lagi tahu kabar dari mereka. Hanya sebulan yang lalu sebelum aku menerima kaul kekalku, kudengar bahwa ibu sakit. Aku tahu berita itu dari saudaraku sendiri ketika mengikuti acara penerimaan kaul kekalku. Saat bangun berdiri dan keluar dari aula St. Thomas, suara burung hantu pecah di jantung bukit Ledalero. Aku begitu kaget dan gelap masih meremas tubuhku. Kunyalakan sebatang rokok, lalu berjalan turun ke Unit Fransiskus. Pertanyaan dan jawaban dari ibu dan ayah tiba-tiba ada di kepalaku. Itu semua seperti pertanyaan dalam metafisika mengenai ‘ada”. Seperti itu. Ke dalam kamarku, aku merayakan bisikan-bisikan suara hati dan ruang kepalaku mulai penuh dengan pertanyaan demi pertanyaan, “Ada apa dengan ayah dan ibu?” teriakku dalam hati. Tiba-tiba aku mendengar seorang teman memanggilku bahwa ada seseorang yang mau bertemu denganku. Aku pun keluar menemui orang itu. Aku tidak percaya ternyata orang itu adalah ayah. Aku mendekati ayah dan memeluknya.
“Maafkan ayah dan ibumu, nak.” Bisik ayah.
“Sudahlah ayah. Aku tidak sedikit pun mempersalahkan ayah dan ibu.” Setelah itu ayah mengeluarkan sebuah bungkusan sederhana dari dalam tasnya.
“Nak, ini pemberian ibumu yang terakhir. Ibumu selalu merindukanmu walaupun dalam ketiadanya. Seminggu sebelum ibumu sakit, ia berusaha menjahitkan jubah ini untukmu, dan dua hari yang lalu sebelum ibumu meninggal ia berpesan supaya jubah ini kau pakai dalam tahbisanmu nanti.”
Aku seakan ingin berteriak ketika mendengar apa yang barusan di katakan oleh ayah. Air mataku luruh membentuk satu garis lurus di pipiku. Aku merasa begitu hampa. Hatiku tersesat di antara perasaan-perasaanku sendiri. Lalu entah kenapa, malam terasa lebih pekat dari biasanya, dan kedinginan menjalar di tembok-tembok malam. Tapi aku sadar, pada akhirnya harus ada yang aku lepaskan. Ibu. Bagiku, cinta juga berarti berani melepaskan. Maka, ketika semuanya terasa semakin rumit, aku meninggalkan mata ibu yang menatap mataku penuh harap. Sudah tak ada alasan bagiku untuk tetap di hadapannya. Ibu sudah pergi. Dan aku menguatkan diriku untuk tidak berpaling. Aku menembusi malam dan berlalu. Ibu memahamiku. Ibu tahu bahwa aku mencintaiNya. Bukankah cinta juga belajar memahami?*
*Penulis Sekarang Tinggal di Unit Gabriel Ledalero Maumere