Borong, Vox NTT- Setelah tiga hari sakit, sejak Selasa 12 Februari 2019, Waldetrudis Grevi Jaghong, bocah 5 tahun asal Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur (Matim) akhirnya meninggal dunia Jumat 15 Februari 2019.
Grevi demikian almarhumah disapa merupakan seorang anak yang sedang mengenyam pendidikan anak usia dini (PAUD) di desa itu.
Fransiskus Nendong (40), ayah almarhumah mengaku, putrinya itu menderita sakit selama tiga hari.
“Hari selasa pagi, saya masih antar dia ke sekolah di PAUD. Sore jam 03.00 dia sakit perut, tapi dalam keadaan yang masih segar. Saya pikir ini biasa saja,” kisah Frans saat ditemui VoxNtt.com di kediamannya, Senin (18/2/2019).
Namun, sakit yang dialami Grevi terus berlanjut hingga keesokan harinya.
Diakui Frans, pada hari Rabu, buah hatinya itu, sudah mulai panas-panas.
Sore harinya ia pun mendatangi seorang bidan yang bekerja di pustu untuk memberitahukan kondisi kesehatan anaknya.
“Bidan itu kasih obat,” imbuh ayah empat anak itu.
Namun, obat yang diberikan bidan tak kunjung membuat Grevi sembuh.
Pada Kamis pagi, panasnya pun menjadi-jadi. Karena kondisinya seperti itu, Frans pun membawa Grevi ke Puskesmas Borong.
“Saya waktu itu tidak ikut tetapi saya menyusul karena motor saya lagi perbaik, akhirnya dia pergi dengan mamanya dan saya suruh mereka kalau rujuk nanti kamu telepon saya,” ungkapnya.
Rovina Ando (38), ibunda Grevi mengaku putrinya tidak sempat dirawat di Puskesmas Borong lantaran saat itu, situasinya tampak ramai.
“Sampai di Puskesmas Borong kami tidak sempat masuk karena banyak orang, akhirnya kami terus ke Peot di Klinik Santa Klara,” kisah Rovina.
Dikatakannya, ketika sampai di klinik itu, kondisi Grevi sangat panas dan badannya lemah.
Bahkan, kata dia, Grevi tak membuka mulutnya ketika hendak memberikan minuman berupa susu dan air oleh seorang bidan.
“Datang satu bidan mau ambil darah. Pas mau ambil bagian kanan darah tidak keluar akhirnya ambil bagian kiri. Mareka pun terus ke puskesmas,” imbuhnya.
“Setelah pulang cek salah seorang bidan kasih tahu ke saya, adu tanta ini anak trombositnya rendah sekali 37, saya tidak tahu apa itu apalagi bahasa kesehatan,” tambah Rovina.
Setelah mengetahui kondisi Grevi sangat lemah, para petugas pun memasang infus dan memberikan jus pepaya.
Namun, Grevi hanya meminumnya sebanyak dua sendok makan.
“Waktu infusnya dipasang airnya itu tidak jalan. Karena tidak jalan saya hanya pasrah. Saya menolak untuk tanda tangan surat rujukan, saya tidak yakin dia akan hidup. kalau kami bawa ke Ruteng pasti dia akan mati,” kisahnya pasrah.
Selanjutnya mereka pulang ke rumah. Keesokan harinya tepatnya Jumat pagi Grevi menghembuskan napas terakhirnya.
Frans sang ayah kembali mengaku saat putrinya sakit, ia terbelit keadàan ekonomi. Ia tak memiliki uang.
“Biarlah mungkin itu takdir saya,” ungkapnya.
Kendati demikian, Frans menyayangkan pelayanan kesehatan di Matim.
“Saya bingung kenapa anak saya ambil darah di klinik itu tapi labnya ada di Puskesmas Borong,” ungkapnya.
Frans pun berharap agar pelayanan kesehatan di Matim harus dilakukan dengan serius.
“Kami akses setengah mati apalagi puskesmasnya di Ketang masa kami harus ke atas untuk buat rujukan, sosialisasi tentang penyakit juga penting sapaya kami tahu, sehingga kami bisa lakukan pencegahan dini,” tukasnya.
Diduga DBD
Kematian Grevi diduga karena mengidap penyakit demam berdarah dengue (DBD).
Namun, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P3), Dinas Kesehatan Kabupaten Matim, Regina Malon, saat konfirmasi VoxNtt.com, Senin sore mengaku belum menerima laporan terkait dugaan itu.
“Untuk pasti DBD harus ada pemeriksaan laboratorium dan ada gejala lain dan dokter yang kasih diagnosa,” ungkapnya.
Dikatakan, pihaknya harus mendapat laporan dari puskesmas atau klinik tempat pasien dirawat.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba