Oleh: Pius Rengka
Meski saya tidak terlalu suka sebutan pesta demokrasi untuk hari pemilihan umum 17 April 2019, tetapi toh sebutan itu terlanjur diterima begitu saja tanpa sedikit koreksi bermakna. Apalagi di televisi, para juru bicara partai-partai gemar sekali menyebut istilah pesta demokrasi untuk pemilu. Padahal itu salah dan fatal.
Pesta, sebagaimana biasa untuk semua jenis pesta, selalu menabur keriangan, menabuh gendang keramaian, gembira ria, dansa-dansi, musik dangdut tanpa peduli tetangga, bahkan ada di antaranya mabuk kepayangan minum laru teramat laut. Teriak-teriak sejadi-jadinya, lalu melontarkan diri sendiri di tepi parit penuh sampah.
Tetapi pesta demokrasi, tanpa laru, nihil dansa-dansi, jauh dari pekik heroik kegembiraan. Karena pemilu itu adalah kompetisi demokrasi yang memberi hak seutuhnya kepada rakyat untuk mengoreksi dan mengevaluasi perjalanan pembangunan lima tahunan lewat agar pembangunan lima tahun kemudian tidak ditangani oleh orang-orang tak becus.
Peserta pesta demokrasi, malah senyum seperlunya. Memang perlu suasana bebas. Bebas dari tekanan, tetapi bebas untuk menentukan tekanan dalam pemilihan.
Sesekali di antara para pemilih memandang satu dengan lainnya sambil menjilat api pengaruh nilai-nilai dan kadang disirami sedikit cuka kecurigaan yang sangat kuat. Masing-masing pemilih, tentu saja, telah mengamankan sejumlah nama yang diduganya sendiri sangat berguna untuk negeri dan daerahnya di masa depan. Rakyat memilih orang yang benar dan tepat, sesuai dugaannya.
Hasilnya? Ternyata, masih banyak ditemukan orang bodoh kembali dipilih, bekas tukang las radio tetap dipilih, pemabuk pun dipilih lagi dan seterusnya para calo proyek pemerintah dipilih ulang sekali lagi. Begitu seterusnya dan seterusnya.
Orang-orang sangat bermutu, kuat inteligensia, mahir menakar ilmu pengetahuan dan politik kepemerintahan, malah tergusur tak dipilih. Saat itu saya merenung, kalangan aktivis demokrasi masih gagal menularkan nilai-nilai sampai meluas.
Kalangan aktivis hanya sanggup berujar teori-teori hebat yang dikutip dari aneka literatur dan hasil penelitian, tetapi tidak mengakar jauh sampai ke kampung-kampung.
Mereka yang diandalkan sebagai penjaga marwah kebenaran dan keadilan justru tersingkir. Tetapi, begitulah demokrasi. Rakyat berhak memilih, rakyat berhak menentukan, dan masa depan negeri dan daerah ditentukan oleh tindakan para pemilih. Masa depan negara ditentukan rakyat dalam tempo 5 menit di bilik suara.
Pesta pemilihan demokrasi sudah usai. Tersisa, dibayangkan mestinya, tuan pesta mulai menghitung berapa kiranya piring gelas yang mungkin pecah, berapa pula kiranya jumlah kursi dan botol sopi yang remuk. Tetapi, ternyata tidak demikian untuk urusan Pemilu, pesta demokrasi. Pesta demokrasi di level rakyat memang sudah tuntas selesai, tetapi ternyata di level elit malah terkesan baru mulai.
Usai pesta demokrasi, sepertinya babak tarung baru mulai. Debat siapa menang Pilpres, masih berlanjut hingga tulisan ini ditayangkan hari ini. Quick Count, dinilai kalangan terbatas, sebagai mekanisme manipulasi kaum cendekia untuk memenangkan kelompok tertentu. Para surveior bergelar prestisius dituding dibayar mahal hanya untuk membangun opini yang menguntungkan pasangan Pilpres tertentu. Dalam kasus kita di sini, surveior dituding membela Jokowi-Ma’ruf.
Quick Count, dinilai sebagai metode ilmiah dengan motif politik blocking. Maka babak debat dengan semrawut argumen pun datang silih berganti menyusul 17 April 2019 lewat dan tarung tengkar itu pun tiba di media televisi, media sosial, media cetak. Kisruh tengkar itu pun tiba di dapur seorang janda yang telah lama selalu sunyi sendiri.
Janda nan cantik itu, berujar dua kata sangat pendek dan bermakna sangat jauh dan dalam. Kata dia, Sakit Jiwa. Pada saat yang lainnya meruak, ringkih pekik, hujat menghujat dan terkesan seperti hendak menghunus pedang permusuhan sambil mengibarkan warta dengki begitu meluas, sang janda cantik kembali menekuni kebiasaannya menenun sarung sepotong demi mempertahankan hidupnya dan merajut masa depannya sendiri.
Perilaku janda itu persis sama dan nyaris sama dengan perilaku umumnya rakyat di negeri ini. Mereka ikut memilih dan kembali ke rumah lalu diam.
Simbol Agama
Kita saksikan bahasa dengki dan eksploitasi simbol agama ditampilkan begitu kasar dalam ruang sosial tanpa reserve memadai. Seolah-olah pemilihan umum ini sebatas urusan tarung agama dan etnik, urusan blocking orang sana dan orang sini.
Padahal, semua orang tahu, Pemilu itu adalah mekanisme sistem politik yang sangat diperlukan agar rakyat terlibat sekali dalam lima tahun mengontrol para penjahat serta mempromosikan kebaikan untuk kepentingan yang amat luas.
Pemilu itu mekanisme kontrol rakyat. Rakyat diberi ruang terlibat untuk evaluasi lima tahunan, meski dalam demokrasi seharusnya rakyat selalu terlibat setiap hari mengontrol kelakuan pengelola negara, agar pengurus negara tidak berlaku jahat.
Kita dapat saksikan, rakyat pemilih, kembali tenang bekerja di kebun, sawah, tangkap ikan, cari kayu bakar, bukan karena mereka tidak mengerti pemilu, tetapi karena mereka lebih bermutu dibanding elit. Rakyat diam dan tercengang menyaksikan perilaku elit yang serba membabi buta, dan kadang buta sempula.
Lihatlah. Para peternak sibuk mengurusi kawanan sapi, kambing dan domba di padang penggembalaan, sambil menghitung ulang berapa kiranya anak sapi yang lahir baru setelah banyak di antara induknya dibantai para politisi pengumpul suara yang menabur janji-janji ganjil di kampung-kampung. Jika toh ada kecurangan, maka kecurangan itu tidak terjadi di level rakyat.
Curang selalu dilakukan oleh para calon yang merasa diri tak pantas berlaku jujur dan baik, tak sanggup memberi contoh yang benar dan adil. Karenanya mereka beroperasi dengan segala bentuk cara jahat untuk memenangkan dirinya sendiri, dan kemudian bekerja sama dengan petugas pemilihan yang dibayar. Mungkin juga ada di antaranya yang membayar petugas dengan memakai uang rakyat, uang janda, uang peternak dan petani. Kalangan terakhir ini biasanya dilakukan kaum incumbent atau orang kaya swasta yang sangat ingin menjadi anggota legislatif.
Pada pekan lalu, usai 17 April 2019. Seorang aktivis tulen asal Jogya. Teman lama di kelompok Cipayung. Dia muslim. Dia menjawab pertanyaan saya apa gerangan motif keributan politik ini.
Kata dia, elit yang bikin rusuh. Elit serakah. Elit ini pulalah yang mengipas simbol-simbol agama dan etnik kian tajam dan kejam di Indonesia hanya untuk kepentingannya sendiri, bisnisnya sendiri dan terutama politisi bodoh dengan naluri nafsu diri sendiri meski nihil prestasi.
Sexy Killers: Tampang Oligarki yang Membunuh secara Perlahan
Ambil contoh, kata dia. Lihatlah para tukang ribut itu dan siapa saja mereka yang ada di balik juru ribut itu.
Umumnya hanya ada dua wajah. Wajah pertama adalah penguasa lama. Kedua, wajah pebisnis lama dan pebisnis baru yang berfusi.
Kaum ini, bekerja sama dengan anggota legislatif dengan kepentingan berbeda. Pebisnis berkepentingan untuk mengamankan bisnisnya melalui mekanisme politik, antara lain rumusan UU atau Perda, sementara politisi ingin mendapatkan duit dari para pebisnis itu. Ada para pengacau yang sudah duduk di dewan, ada pula yang bisnisnya mulai diganggu, dan di antara mereka hidup mulai tidak nyaman karena hasil curiannya mulai dicari-cari, ditelisik.
Anehnya, gaji DPRD (kabupaten, kota maupun provinsi) kini sangat besar dibanding prestasi dan reputasi para anggota DPRD itu sendiri. Di daerah-daerah miskin saja, gaji DPRD sangat tinggi.
Rata-rata gaji mereka mulai dari kabupaten kota saja, berkisar di angka Rp 35 sampai 45 juta perbulan. Uang reses DPRD Propinsi tak kurang dari Rp 30 sampai Rp 80 juta untuk sekali reses. Dan, semua kita tahu, pada saat reses itu, mereka buat apa dan apa isi edukasi politik yang dilakukan, apa kepentingan rakyat yang mereka perjuangkan? Hanya sedikit dari mereka yang mungkin kritis, tahu diri dan tahu tugas dan memahami untuk apa pelayanan rakyat atas mereka sedemikian besar.
Selain gaji dan uang reses, mereka pun mendapatkan uang aspirasi dengan jumlah fantastis dan bervariasi untuk semua daerah. Di beberapa daerah uang aspirasi itu 1 miliar.
Belum lagi dana pokir, dana kesehatan, dana perumahan, pakaian dan uang kunjungan ke mana-mana. Intinya mereka sibuk buat aturan untuk membuat perut mereka tambah buncit, tetapi rakyat tetap saja miskin.
Nah, kawanan inilah yang tukang bikin ribut dan di Jakarta para sewaan banyak sekali. Karena itu ucapan mereka di televisi, kualitasnya murah dan rendah.
Kata dia lagi, kondisi dan mutu diskursus politik saat kita masih di Cipayung dulu, sangat jauh berbeda. Kualitas diskursus politik jauh bermutu dibanding sekarang. Relasi antaretnik, agama, dan aliran politik tetap berlangsung mesra, meski debat akademik sangat kuat dan kencang. Tetapi, hari-hari ini kau lihat. Politisi yang menyebut dirinya elit itu, memobilisasi rakyat dengan memompa isu agama, etnik dan ideologi-ideologi sektarian begitu luas, tak sanggup menerima kenyataan hasil pilihan rakyat.
Yang lebih mencengangkan, katanya, para akademikus kampus ikut terbimbing dalam permainan busuk ini, hanya karena membela bayaran dan pembayar.
Omong kosong mereka menyebut ideologi mulia yang mereka sebut-sebut di televisi. Mereka bicara karena duit saja. Sulit lagi kita saksikan debat bermutu seperti debat politisi ulung di masa lampau ketika di partai-partai politik diisi oleh para ideolog sejati yang bersuara keras karena membela kepentingan rakyat yang masih menderita.
Jadi, katanya menyimpulkan, semua keributan ini adalah wujud kerisauan elit karena mengalami krisis kepercayaan rakyat, dan karena takut kehilangan peluang untuk merampok uang rakyat dan kehilangan uang sewa. Ini semua calo politik Pius.
Keributan juga muncul, karena ada juga di antara pengumpul suara (para calon legislatif itu) mengalami gangguan psikis setelah cermat kalkulasi jumlah suara yang mungkin diperoleh.
Saingan internal sesama partai bersaing begitu keras dan tajam. Perkelahian politik sesungguhnya bukan antarpartai, tetapi sesama anggota partai. Ya, karena dikumpulkan bandit-bandit dalam satu barisan. Omong kosong orang-orang itu berjuang demi kepentingan partai. Yang ada itu berjuang untuk diri pribadi melalui jaket partai.
Umumnya mereka ini bukan pejuang ideologis, melainkan pereman politik yang menyebut diri elit dan kepentingannya sangat pragmatis konkrit. Ada uang aku meruak, ada ongkos aku rela dihujat. Begitu pun orang-orang yang selama ini dikenal ahli ilmu itu dan ini. Karena itu Pius, lanjut teman saya itu, mereka ini menyebarkan duit demi mendapat dukungan.
Maka, teori demokrasi yang meminta partisipasi luas dengan pertimbangan kualitas, kapasitas intelektual dan moralitas integritas yang tangguh, sebagaimana biasanya kita ucapkan pada diskusi Reboan di Jogja dulu, gugur sudah. Kau dulu nyaring sekali bicara berpihak kepada kaum tertindas, itu semua gak ada lagi Bung.
Saat itu, ilmu politik dan ideal politik yang kerap kita diskusikan dalam diskusi Reboan di Jogja itu, telah mati. Moralitas yang diperkenalkan para kyai dan kaum moralis di berbagai panggung kotbah sirna tanpa implementasi yang memadai.
Bahkan dengan segala hormat, kata dia, panggung dan mimbar agama kini diisi dengan ujaran kebencian, dengki dan dendam sambil mengenakan simbol-simbol agama. Hal ini terjadi karena di masa silam, kaum ini pun kerap digunakan rezim Orde Baru, sebagai instrumen politik untuk mempertahankan kekuasaan Soeharto.
Ketika ditanya, kemarin pilih siapa Presiden dan pilih politisi dari partai politik mana? Sambil tertawa dia menjawab, “saya gak ikut pilih Pius”. Teorimu bahwa memilih itu perlu karena dengan memilih kita menaruh sedikit harapan agar ada perubahan, meski semua calonnya buruk, saya justru memilih untuk tidak memilih karena saya temukan begitu banyak hal buruk pada setiap calon.
Dan, saya tidak mau ikut mengambil bagian untuk melanjutkan semua jenis keburukan itu. Saya tetap kritis, tetap menjalankan kerja-kerja dengan para petani, nelayan di pesisir selatan Pulau Jawa, karena pengalaman riil miskin ada di sana. Mereka itu kaum tertindas yang sesungguhnya. Apa yang kini terjadi di kota-kota di Jawa adalah limbah-limbah sosial dari sejarah politik Indonesia.
Dia menambahkan, pada masa silam, pertarungan faksi, misalnya, kaum abangan versus santri, nasionalis versus islam, komunis versus Pan Islam, pro barat versus anti barat dan seterusnya mengental dalam tataran tarung kepentingan yang sangat tajam, tetapi debatnya ideologis bukan mencari duit seperti penjual obat tepi jalan itu.
Karena itu, memahami politik hari ini, perlu juga dilihat dalam dinamika konteks perubahan politik, tak hanya pada level lokal, nasional dan regional, tetapi juga intrnasional.
Tak satu pun kalimat yang dapat saya ucapkan, karena dia berbicara beruntun tanpa henti. Saya tahu dia pun marah. Usianya kini, sudah 60-an tahun.
Nasib Babi NTT
Di NTT, banyak babi. Di NTT pula banyak babi dibantai. Pembunuhan berencana yang berlangsung begitu masif terhadap kaum babi, terjadi di hampir semua kawasan. Mayat babi bergelimpangan di setiap kampung. Tangisan dan rengekan babi minta ampun berteriak dari segala penjuru, tetapi tanpa sedikit pun cahaya belas kasih dari kaum keturunan kera ganas.
Bulan babi berdarah begitu meluas, masif sistematis dan terstruktur. Bukan air mata babi yang deras mengalir, melainkan darah babi tumpah di mana-mana. Maka pada acara makan mayat babi pun terjadi di mana-mana. Kawanan babi yang masih kecil, tentu saja, kehilangan papa mama yang dikasihinya. Tetapi mau bilang apa. Turunan kera ganas (sapiens,red) telah menjadikan kaum babi media komunikasi untuk mendulang suara. Anarki dan kekerasan langsung masif terjadi. Tentu saja, Prof, Johan Galtung, yang meluruskan teori kekerasan dunia itu tak tahu bahwa keturunan kera ganas di NTT telah membunuh sambil tersenyum. Maniak.
Tatkala pisau dan parang sudah dihunus, tak ada aral melintang. Leher babi pun digorok, dan tangisan berkepnajangan babi, entah mengutuk entah mohon ampun tanpa tahu bersalah, tetapi semua terjadi begitu saja, hingga tangisan terhenti dan tubuhnya dicincang sejadi-jadinya.
Para keturunan kera ganas, makin mahir membuat derita. Sebagai contoh, dalam 5600 tahun terakhir manusia telah menggelar 14.600 perang. Perang sesama manusia, entah perang dan pembantaian pada babi.
Dalam perang dunia II, tewas 54,8 juta jiwa manusia. Terbanyak di antaranya orang Rusia, 25 juta, Intinya, kisah mahluk keuturan kera ganas telah membantai tak hanya sesama manusia, tetapi juga sesama mahluk hidup yang lain. Untuk sesama mahluk hidup yang lain, seperti babi tadi, dibantai sambil beriang gembira. Membunuh dengan keji semacam maniak.
Sambil tersenyum seorang petani menghitung untung, setelah populasi kawanan babi di kampung mereka turun tajam. Tak terdengar lagi rengekan babi minta makan pagi dari tetangga, karena babi yang dipeliharanya dengan tekun telah menjadi daging dan daging berubah menjadi tinja.
Nasib ayam pun begitu. Pantasan, di sebuah kampung nyaring kokok ayam tak terdengar karena ayam jantan yang bertugas berkokok pagi hari telah pula meninggalkan dunia ini tanpa pesan lain kecuali karena habis disikat saat cuap-cuap tutur adat untuk politisi yang diduga tahu adat. Ayam keok tak berkutik demi kepentingan politik.
Begitu pun tetangga sebelah rumah. Berkisah tentang ayam jantan 5 ekor miliknya laku semua dengan harga bagus. Biasanya dalam keadaan sangat normal harga pasaran ayam 75 ribu seekor, saat musim politik harga pasaran naik mendadak 250 ribu untuk seekor. Uang-uang ayam itu dikumpulkan, selain untuk mencari pasangan ayam baru, juga menyelesaikan cetak batako untuk rumah yang belum tuntas dibangun.
Jadi, para elit ribut tak dapat untung di kursi politik, di lapisan bawah sibuk menghitung untung hasil jual ayam dan babi. Yang di bawah sangat normal dan sehat manusiawi, tetapi yang di atas terkesan banyak orang sakit jiwa. Begitulah.