Kupang, Vox NTT-Koordinator Vivat Indonesia, Pater Paul Hormat, SVD menyesalkan keputusan hukum Pengadilan Penang Malaysia yang membebaskan S. Ambika, majikan Adelina J. Sau, pekerja migrant asal Desa Abi, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Adelina diketahui meninggal setelah dianiaya Ambika. Kasus itu kemudian menyeret Ambika ke Pengadilan untuk diproses hukum. Namun pada 18 April lalu, pengadilan memutuskan Ambika bebas murni.
Padahal, kata Pater Paul, Ambika telah melakukan sebuah pelanggaran hukum dan hak asasi manusia atas Adelina yang disiksanya secara keji dan menidurkannya dengan seekor anjing hingga tewas.
“Ini merupakan suatu tamparan keras kepada pemerintah, baik pemerintah Malaysia maupun Indonesia,” ungkap Pater Paul.
Menurut dia, kasus Adelina Sau menunjukkan bahwa majikannya jelas-jelas melanggar hukum dan hak asasi manusia dan putusan bebas dari hukuman adalah tamparan yang sangat keras bagi negara.
Hal itu diungkapkan Pater Paul kepada VoxNtt.com usai menjemput Jenazah Yordanus Taek, di Kargo Bandara El Tari Kupang, Sabtu 04 April 2019.
Selain itu, ia menegaskan, bebasnya Ambika dari jeratan hukum menjadi bukti kegagalan dan kekalahan negara dalam melawan kejahatan kemanusiaan, khususnya Human Trafficking.
“Ini juga bukti bahwa negara gagal, negara kalah dalam melawan kejahatan human trafficking ini,” tegasnya.
Secara kelembagaan, Vivat mendorong pemerintah Indonesia untuk mengangkat kembali kasus ini dan diproses banding, demi mendapat keadilan bagi Adelina Sau dan seluruh korban meningal yang jumlahnya semakin banyak.
“Ini adalah tanggung jawab negara,” ujarnya.
Sementara itu berkaitan dengan penyelesaian kasus di NTT, dia mengatakan, pemerintah NTT harus hadir dalam upaya pemutusan mata rantai human trafficking.
Pater Paul yang mengaku pertama kali menjemput Jenazah TKI itu tak kuasa menahan kesedihan saat dirinya bersama sejumlah aktivis dan rohaniwati menjemput Jenazah Yordanus Taek.
Saat berbincang dengan media ini, Pater Paul hampir tak bisa berkata-kata, nampak sekali perasaan duka tengah menusuk hati.
“Saya hampir tidak bisa bicara melihat hal seperti ini terjadi setiap tahun, speechless yah. Untuk saya itu speechless. Tetapi ini adalah puncak dari sebuah gunung es dalam persoalan human trafficking, persoalan migrasi yang terjadi di NTT,” ujarnya.
Untuk memutus mata rantai kasus ini, kata dia, pemerintah harus segera bersikap tegas dan mengambil langkah konkrit, mulai dari hulu sampai hilir.
“Mulai dari sini sampai tempat kerja mereka dan hingga mereka kembali lagi ke sini,” katanya.
Dia menekankan agar pemerintah harus memberikan kepastian hukum dan hak bagi para pekerja sebelum mereka diberangkatkan dan setelah mereka tiba di tempat, negara tujuan.
“Kita mulai dari hulu sampai hilir. Dimulai dari sini, bagaimana mereka berangkat, mengapa mereka berangkat, bagaimana pendidikan mereka, skil mereka, bagaimana proses keberangkatan dan dokumen keberangkatan mereka. Itu semua ada kaitannya. Lalu proses mereka sampai dalam perjalanan, sebelum transit, sebelum sampai di tempat kerja, itu juga suatu mata rantai yang panjang yang harus diperbaiki pihak migrasi. Sampai di tempat kerja, di Negara tujuan itu, bagaimana mereka mendapatkan hak, bagaimana hak mereka dilindungi oleh undang-undang dan negara bersangkutan, itu semua tidak terlepas satu sama lain, itu semua adalah rentetan yang harus segera iderbaiki,” pintanya.
Pater Paul pada kesempatan itu juga menyinggung kejadian di Malaysia yang menimpa TKI, dimana seluruh dokumen mereka disita oleh Majikan. Menurutnya, dokumen itu satu-satunya kekuatan tenaga kerja setelah sampai di Negara tujuan.
“Dokumen itu untuk memastikan mereka terlindungi dan hak mereka terpenuhi. Dan mereka mempunyai kekuatan sendiri untuk membentengi diri, menjaga diri supaya mereka bermigrasi dengan aman, masuk tempat kerjanya,” katanya.
Karena itu, kembali ia tekankan, pemerintah juga harus memastikan para TKI ini dilindungi secara hokum. Karena itu dokumennya harus lengkap.
Kelengkapan dokumen ini, demikian Pater Paul sangat membantu para pekerja migran ini untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan bisa diawasi.
Namun demikian, ia menyampaikan bahwa hal itu bukan pekerjaan mudah melainkan butuh waktu dan proses yang panjang.
“Ini tentu soal panjang dan butuh waktu yang panjang, tetapi harus dimulai. Dan kita berharap, di Indonesia, produk turunan UU PMI yang sekarang ini belum ada PPnya itu, supaya lebih operasional, lebih terimplementasi. Sehingga dengan itu memberikan sedikit jaminan legalitas, bahwa mereka akan sedikit terlindungi dari sisi hukum,” tegasnya.
Kasus pengambilan dokumen oleh majikan, jelas dia, adalah tindakan yang sangat berbahaya dari sisi pekerja.
“Hal itu sama dengan mengambil nyawa mereka, keselamatan mereka juga hak serta jaminan legalitas mereka sebagai pekerja migrant,” katanya.
Karena itu dia berharap, hal itu tidak terjadi lagi. “Harus dipastikan bahwa mereka memegang sendiri dokumennya. Karena memegang dokumen, sama dengan mereka memengang sendiri nyawa mereka sebetulnya,” harapnya.
Baca: Jelang Aksi ANti Human Trafficking, NTT Dikirimi Jenazah
Penulis: Boni J