Oleh: Ronaldus Adipati Kunjung*
Malam telah larut. Aku masih duduk mengakrabi Samsung Galaxy J1-ku.
Sengaja tadi ku beli kuota paket data 1 GB dengan harapan aku bisa online semalaman sambil membaca pesan masuk atau sekedar menyukai status sahabat dunia maya yang kebanyakan alay.
Sesekali aku melirik kronologi facebook-ku berharap ada sesuatu yang berharga dari sana.
Memutar bahasa Buku Suci: mungkinkah sesuatu yang baik dari kronologi? Entahlah, tapi aku menunggu sesuatu dari sana. Sementara itu, si kecil juga sudah pulas terbuai mimpi malam.
Ia yang kini berusia tiga tahun kurang dua bulan, mulai bisa diajak kompromi terutama ketika pasokan susu kaleng habis lalu diganti wae tis (dengan air tajin atau air rebusan besar).
Ia tahu bahwa ibunya tak mampu untuk selalu menyuplai susu untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Akh, anak pintar.
Sejak dilahirkan, ia belum sekalipun melihat sosok ayahnya.
Hanya dari foto-foto pernikahan kami, ia jadi tahu rupa ayahnya dan ia jadi tahu bahwa kata orang wajahnya menyerupai wajah ayahnya kecuali rambutnya yang meniru persis rambutku, hitam bergelombang.
************
Hujan yang tercurah di luar menambah galaunya diriku di penghujung Oktober ini. Ku pandangi jam analog laptopku, pukul 23.42 Wita.
Aku kemudian mendesah pelan. Ada perasaan tak terkata ketika seujung kuku lagi hari ini berakhir belum juga dia mengucap selamat atas ulang tahun pernikahan kami.
Happy Weeding Aniversary, deretan kata-kata ini biasanya tak pernah absen di kronologi facebook-ku setiap tahun tepatnya pada bulan ini, 31 Oktober.
Mungkin aku harus menunggu. Masih ada delapan belas menit lagi malam mau menutup hari ini.
Mungkin dia sibuk atau sudah lupa? Ah, tidak mungkin. Dia tidak mungkin lupa. Aku melihat kronologi facebook-ku.
Lima tahun berturut-turut di bulan ini, di tanggal ini, dia tidak pernah lupa mengirim status di kronologiku. Kata-kata juga bahasanya akrab di benakku.
************
31 Oktober. Saya masih ingat jelas waktu itu. Dalam balutan busana khas pengantin kami berdua menukar sumpah di depan Altar sakral.
Secara bergantian kami menjawab: Ya, saya bersedia untuk sebuah pertanyaan dogmatis yang telah terwaris. Semenjak itu, kami berdua jadi sah dalam hukum dan agama.
Kami bukan lagi dua melainkan satu. Setidaknya, kami telah menggenapi firman yang tertulis dalam Buku Suci: “Karena seorang istri akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk kemudian bersatu dengan suaminya atau juga seorang suami akan pergi meninggalkan ayah dan ibunya untuk tinggal bersama dengan istrinya”.
Hari-hari setelah pernikahan kami berlangsung dengan penuh kebahagiaan. Meski tak ada bulan madu, kami melewatinya dengan penuh romantis.
Kecupan hangat di kening, tempat bercinta yang gonta-ganti antara dapur, kasur, kamar mandi, menjadi penanda bulan-bulan awal pernikahan kami.
Bahkan cupang merah, tanda gigitannya masih membekas di bagian tertentu tubuhku. Secara bergantian pula kami mengurus tetek bengek rumah tangga.
Mencuci pakaian, menyeterika, menyapu rumah, dan lain sebagainya.
Aku tahu bahwa jika aku membiarkannya bekerja sendiri, aku akan dikatai sebagai perempuan tak tahu diri.
Akh, aku tak mau suamiku jadi seperti yang dilakonkan dalam sinetron dunia terbalik.
************
07 Mei 2015. Tanggal ini masih kucatat dalam diari klasik hadiah seorang sahabat waktu pernikahan kami.
Setelah makan malam, sebagaimana biasa kami berdua duduk ngobrol atau juga bercengkrama tentang perilaku anak kami yang suka menendang dinding perutku, tentang persiapan kelahirannya, tentang masa depannya, tentang apa saja.
“Ma, ……………”, agak ragu ia memanggilku.
“Kenapa, Pa?”, jawabku sepontan.
“Saya mau ke Kalimantan. Seorang teman kuliah saya dulu menelpon saya dan meminta saya ke Kalimantan. Di sana ada lowongan guru dan juga upahnya menjanjikan”, katanya kepadaku. Mendengar kata merantau itu, aku serasa ditampar berpuluh kali.
“Apa? Ite mau ke Kalimantan? Apa tidak cukup dengan gaji dari sekolah sampai ite berencana merantau ke Kalimantan?”, jawabku agak marah.
“Ma, coba Mama bayangkan. Dengan gaji 400 ribu per bulan, kita mau makan apa? Apalagi semenjak sekolah di alihkan ke Propinsi, kami sudah tidak mendapat BOSDA. Mungkin lebih baik di sana Ma, lebih baik kita mencerdaskan anak Kalimantan daripada anak Manggarai. Di sini guru tidak dihitung, baik profesi maupun penghasilannya”, Ia menimpal lagi.
“Saya memikirkan masa depan Ma, masa depan kita nanti. Masa depan dari buah hati kita. Meski masih dalam perut, aku tak mau ia terlahir langsung melihat orang tuanya tidak punya persiapan menyambut kedatangannya”, katanya lebih lanjut. Aku ingat malam itu, semenjak dia memutuskan ke Kalimantan, air mata tumpah membasahi bantal tidurku.
************
Tiga tahun sudah kami berpisah. Uang bulanan kirimannya masih bisa mencukupi kebutuhan mendasar, aku dan anakku.
Dan malam ini, entah kenapa ia begitu terlambat mengirim statusnya atau juga sekedar text ke handphone-ku.
Akupun sudah lelah untk menunggu momen terpenting di kronologi facebook-ku. Aku mulai dipeluk kantuk.
Tiba-tiba, HP-ku berdering. Sebuah nomor baru melakukan panggilan pada jam selarut ini. Perlahan ku angkat.
“Hallo, selamat malam. Dengan siapa?, kataku dengan suara yang mulai melemah.
“Maaf, ini dengan istrinya, Pa Ronald?”, suara pria di seberang sana menyahutku.
“Ia, ini dengan istrinya”, kata saya mulai penasaran. “Kenapa dengan suami saya?”, lanjutku.
“Ibu, maaf. Suami anda kecelakaan. Saya menemukannya tergeletak di jalan kemudian saya hantar ke Rumah Sakit. Dia masih mengetik sms tadi bu, setidaknya itu yang saya lihat di layar hp-nya. Maaf, ibu, saya hanya menyampaikan: Nyawanya tidak tertolong. Dia sudah meninggal.”, suara itu begitu pelan dan perlahan mengeja kalimat terkahirnya.
Kemudian nada sms HP-ku berbunyi lagi. Antara duka dan kecemasan aku coba membacanya.
Masih ingat hari ini, Sayang?
Tentu, kau dan aku masih mengingatnya. Kalaupun kita lupa sejarah telah mencatatnya.
31 Oktober 2013. Dalam balutan khas pengantin kita menukar sumpah di depan Altar Sakral. Kau juga aku disumpah dan diberkati menjaga amanat dalam Buku Suci. Tentu kita masih muda, sayang. Kita masih belum bisa menakar juga menimbang beban terberat sebuah rumah tangga. Kita masih perlu untuk dicakar dan dipagut oleh sejarah dan waktu………………………………………….
*Cerita ini adalah hasil imajinasi semata. Kalau ada kesamaan nama tokoh dan kisah, itu adalah kebetulan yang tidak di sengaja.
Penulis tinggal di Necak, Kecamatan Lamba Leda-Matim