Ruteng, Vox NTT- Di tengah guyuran hujan sejak Jumat pagi, 9 Juni 2023, puluhan warga di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur bertahan di jalan menghadang kendaraan milik perusahaan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang hendak mematok lahan untuk proyek geothermal.
Kedatangan tim PT PLN ini dikawal aparat kepolisian bersenjata lengkap dan sejumlah tentara. Meski begitu, warga dari empat kampung adat ini, yakni Gendang Lungar, Gendang Tere, Gendang Racang dan Gendang Rebak membuat barikade, melarang kendaraan perusahaan untuk masuk ke wilayah Lingko Tanggong (tanah ulayat) yang ditetapkan sebagai salah satu titik pemboran geothermal, well pad D.
Proyek geothermal di Poco Leok sendiri merupakan proyek perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Ulumbu yang beroperasi sejak tahun 2012 lalu.
Perluasan protek geothermal ke Poco Leok—berjarak sekitar 3 kilometer ke arah timur dari PLTP Ulumbu, adalah dalam rangka memenuhi target menaikkan kapasitas PLTP Ulumbu dari 7,5 MW saat ini menjadi 40 MW.
Perluasan ini terjadi menyusul penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi pada tahun 2017 oleh pemerintah, hingga kemudian memicu eksploitasi di beberapa tempat, termasuk di Wae Sano, Manggarai Barat; Mataloko, Kabupaten Ngada; hingga di Sokoria, Kabupaten Ende.
Proyek perluasan geothermal di Poco Leok sendiri mencakup 14 kampung adat di tiga desa, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas. Proyek ini dikerjakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), dengan pendana Bank Jerman Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW).
Tuntutan Warga
Agustinus Sukarno, Warga Poco Leok mengatakan, sejak awal, upaya paksa pemerintah dan perusahaan untuk memperluas wilayah pengeboran geothermal Ulumbu ke wilayah Poco Leok ditentang warga.
Penghadangan ini, kata Agustinus, merupakan aksi yang ke delapan, setelah sebelumnya, pada 27 Februari lalu, warga menghadang Bupati Manggarai, Herybertus G. Nabit yang telah menerbitkan izin lokasi proyek pada Desember tahun lalu.
Warga pun telah berulang menyampaikan sikap penolakan kepada pemerintah dan perusahaan, terbaru dalam rangkaian Hari Anti-Tambang (HATAM) pada 29 Mei 2023 lalu, warga Poco Leok—juga Wae Sano di Manggarai Barat, mendesak pemerintah untuk mencabut penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi.
Bagi Agustinus, Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi, adalah cacat, dilakukan secara ugal-ugalan, tanpa konsultasi dengan warga sebagai pemilik sah atas tanah. Keputusan itu memicu perampasan lahan, penghancuran wilayah pangan dan sumber air, serta kawasan hutan, hingga mengancam kesehatan warga akibat paparan hidrogen sulfida (H2S) dari operasi geothermal.
Lebih jauh, rencana pembongkaran sejumlah wilayah untuk perluasan operasi tambang geothermal itu, juga berpotensi memicu bencana gempa, mengingat Flores masuk dalam kawasan ring of fire. Bahkan, di Wae Sano, rencana penambangan geothermal oleh PT Geo Dipa memaksa warga di kampung Nunang (Well pad B) untuk dipindahkan.
Agustinus sendiri mengaku khawatir, setelah mereka melihat langsung daya rusak tambang panas bumi di Mataloko dan di Sorik Marapi, Mandailing Natal yang, telah menelan korban jiwa akibat terpapar H2S.
Di Mataloko, operasi tambang geothermal menyebabkan semburan lumpur panas keluar. Sawah-sawah warga terendam, sumber air tercemar, ladang jagung dan umbi-umbian tak lagi bisa dikelola. Atap seng rumah-rumah warga pun karatan.
Sementara di Mandailing Natal, operasi geothermal oleh PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) telah menyebabkan 5 orang tewas, dan ratusan lainnya masuk Rumah Sakit akibat terpapar H2S.
Warga Poco Leok pun mendesak Bupati Manggarai Hery Nabit dan Pemerintah pusat, serta PT PLN untuk mencabut izin lokasi geothermal Poco Leok, dan menghentikan seluruh proses perluasan wilayah pengeboran PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok. [*]