Oleh: Pius Rengka
Belakangan, diskursus tentang bakal calon bupati untuk Kabupaten Manggarai tahun 2020-2025, terasa mulai agak memanas.
Suhu politik kian memanas ini hadir seiring dengan munculnya sejumlah nama yang diduga bakal ikut disebut-sebut di pangung diskusi di warung kopi.
Diskusi di warung kopi itu kian hangat, karena peserta diskusi tak terarah itu hanya seputar perspektif untuk menjawab siapa gerangan bupati yang pantas untuk Kabupaten Manggarai setelah mencermati konteks ekososial politik aktual yang melingkupinya.
Memang, pada level wacana, para pemerhati politik elektoral tidak hanya berhenti berbicara sampai pada aktor yang pantas dan patut untuk Kabupaten Manggarai, tetapi juga patut didiskusikan model aliansi taktis dan strategis lintas wilayah di Flores, wujud pola koalisi partai yang mungkin dibangun, mengingat variable dan relevansi politik di Indonesia tak sedang hidup dalam ruang hampa. Politik di Indonesia, kian berlari dengan dinamika zig zag, kadang tanpa arah yang jelas.
Dinamika politik lokal senantiasa berkiblat pada dinamika politik nasional. Apalagi kuat kecenderungan, bahwa hampir semua partai politik kehilangan energi desentralisasi keputusan politik. Keputusan politik lokal tidak selalu menjamin kepastian arah, meski arah yang diharapkan khalayak perlu pasti untuk menentukan sikap pilihan.
Kewenangan desentralisasi keputusan politik sudah punah di parpol sejak cukup lama (sekurang-kurangnya satu dekade belakangan) karena digerus oleh regulasi internal partai politik itu sendiri.
Dewan Pimpinan Pusat Partai Politik mewajibkan semua keputusan strategis lokal untuk Pilkada bahkan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat sekalipun ditentukan oleh pengurus pusat. Kekejaman demokrasi ini, memang dianggap biasa oleh partai-partai politik di Indonesia, karena rakyat sendiri malas melakukan kontrol atas kelakuan mereka itu.
Ketika sistem pengelolaan negara dan pemerintahan pada dua dekade belakangan desentralisasi (atau otonomi), tetapi pada saat bersamaan pengelolaan keputusan partai politik justru berbalik arah menjadi sentralisasi.
Karena itu, berbicara tentang siapa yang bakal diusung dan diloloskan partai-partai politik menuju kursi bupati, tidak lagi ada pada level daerah, tetapi dipusatkan di pusat.
Alasan yang tampak keluar dan sesungguhnya agak manipulatif itu ialah karena keputusan tertinggi penerbitan Surat Keputusan menjadi kewenangan Dewan Pimpinan Pusat, tanpa sela delegasi atau seketul pelimpahan wewenang.
Alasan seperti ini sesungguhnya tak sedikit pun mencerminkan akomodasi demokrasi, meski yang selalu biasa diceriterakan ialah karena saat pengusungan itu, para kandidat tidak ditawarkan ruang diskusi tentang visi dan misi, ideologi partai, dan historia kandidat serta seluruh kualifikasi minimalnya, melainkan ditentukan berapa jumlah setoran yang dapat disetor ke DPP.
Maka, jika dilacak serius alasan arus sentralisme politik elektoral ini, sesungguhnya akan ditemukan motif paling brutal yang terkait dengan bisnis politik atau membisniskan cap partai yang dilakukan para bandit politik.
Gejala bandit politik ini memang tidak hanya berlaku di sini, tetapi juga menyebar hingga terjadi sentralisme bandit politik dan penyebaran keserakahan politik.
Pada pengalaman banyak teman di periode lalu, ada aktor partai politik di Jakarta yang tidak lagi pernah bertanya perihal visi misi program dan kegiatan para calon, tetapi straight ke jumlah duit yang dibawa untuk membayar penerbitan Surat Keputusan.
Akibatnya, banyak kandidat internal dari Partai Politik terpaksa tidak ikut kompetisi Pilkada atau terpaksa terpental dari pencalonannya lantaran mereka tidak ada uang mahar untuk beli SK.
Partai politik lalu menggadang calon bukan dari parpol, melainkan orang lain yang mungkin tidak pernah berpolitik di dalam partai kecuali karena dia sanggup membayar atau membeli SK Partai.
Gejala penyakit ini, belum dapat dipastikan kapan sembuhnya, tetapi selama kompetisi politik itu tidak mengutamakan kader internal partai, maka selama itu pula penyakit ini akan tetap jalan.
Akibatnya, tentu saja, ada inersia politik. Inersia politik merupakan situasi dan kondisi ketika para aktor politik tidak lagi merasa perlu untuk berjuang berbasis ideologi politik partai, malah akan bergeser ke sikap praktis pragmatis, yaitu partai diubah fungsinya sebagai institusi bisnis dan rejeki.
Kiblat Ekonomi
Pilkada di sejumlah wilayah di Indonesia dan terutama di NTT, persis akan dikepung oleh dua gejala yang membutuhkan persiapan mantap. Kepungan pertama ialah kepungan kultur politik partai-partai politik.
Kepungan pertama sekilas sudah diungkapkan sedikit di atas. Kepungan kedua ialah resonansi implikatif dari perubahan konteks global. Satu dekade belakangan ini resonansi konteks politik global justru kian menguat.
Pada tataran ideologi, kuat terasa pertarungan ideologi-ideologi besar dunia melanda je seluruh dunia, termasuk ke NTT. Mulai dari ideologi paling radikal hingga ke ideologi sangat reaksioner.
Di antara dua ideologi yang nyaris sama keras dan kasar itu, ada liberalisme, klasik, neoklasik, demokrasi. Indonesia kemudian mempertanyakan tentang nasib ideologi Pancasila ketika anasir ideologi Khilafah kian menggerus kekuatan internal dengan hadirnya para pendukung ideologi itu, dan diduga kekuatannya telah mencapai 15 juta orang di negeri ini.
Di bidang ekonomi lain lagi. Kecenderungan kiblat ekonomi dunia memberi warna politik nasional, sekaligus kiblat yang sama ikut membentuk cara pandang politisi dan tentu saja kandidat bupati untuk memahami konteks lokal dengan segala cakupan ekosistem sosialnya.
Cakupan dan kecenderungan gelombang ekonomi dari yang klasik Atlantic Mainstream ke Pasific Mainstrem yang kini dikendalikan China.
Nah, misalnya, untuk sensitif konteks global, selalu dibayangkan dan diperlukan hadirnya bupati yang memiliki kesanggupan bertindak lebih cerdas, lebih jujur, lebih lekas dan bernuansa problem solving yang sangat kuat.
Dengan kata lain, sangat sulit dimengerti jika figur yang didiskusikan di warung kopi hanya sebatas tokoh lokal atau para pemain lokal yang sibuk urus di tungku kecil batas adminstratif wilayahnya sendiri.
Problem solving pembangunan, tentu saja, segera beriringan langsung dengan apa yang disebut kalangan teoritisi politik dengan dinamika dan turbulensi deprivasi relatif. Tuntutan dan keluhan masyarakat berubah begitu cepat, meski sebagian tuntutan dan keluhan mereka telah dipenuhi oleh pemerintah.
Pemenuhan tuntutan dan keluhan tidak serta merta menghentikan keluhan dan tuntutan itu sendiri, tetapi dinamika keluhan dan tuntutan rakyat seiring sejalan dengan konteks lokal, nasiona, regional dan bahkan global.
Deprivasi relatif itu dapat dimengerti karena masih kuat dipercaya bahwa negara diperlukan dan didirikan untuk menjadi alat manusia mencapai kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan.
Tetapi saat bersamaan, ketika peran negara diperlukan, peran pemimpin di tiap entitas negara diperlukan yang strong. Representasi aktual dan konkrit negara itu adalah aktor-aktor state yang dalam fokus yang lebih sempit adalah pemimpin.
Kecuali itu, dipercaya banyak kalangan bahwa kondisi borderless merupakan keniscayaan kontemporer yang tak mungkin dibendung hanya dengan sebuah tarian adat atau sejenisnya. Atau badai globalisasi ekonomi, budaya, politik dan ideologi, tak hanya sanggup dijinakkan dengan semacam doa di makam leluhur atau sejenis aji-aji kultural lama yang diringi guna-guna tanpa guna. Pada situasi seperti itu, dibutuhkan pemimpn yang strong, decisive, dan lentur dalam banyak aspek.
Tentu saja, saya lihat, nama yang masih beredar luas, yaitu masih seputar aktor yang sama, seperti misalnya, Dr. Kamelus Deno, Victor Madur dan Herry Nabit.
Nama mereka seolah belum sanggup ditinggalkan oleh para tukang diskusi perihal politik elektoral bupati. Tentu saja tidak buruk, tetapi itu hanya sebagai tanda bahwa ternyata para tukang diskusi pun masih menduga diri sudah berjalan jauh, tetapi senyatanya masih berputar-putar di sekitar itu saja.
Menyebut sejumlah nama di atas, bukan karena mereka yang disebutkan itu buruk atau tak sensitif dengan tema yang saya perlihatkan, tetapi penyebutan nama mereka sekaligus memantulkan cara pikir para tukang diskusi itu sendiri. Jangan-jangan, begitu pula cara pikir rakyat kebanyakan di sana.
Meski saya juga tahu, nama lain hadir di tengah padang pembicaraan politik di sana, tetapi umumnya orang belum mulai serius membahasnya karena masih harus menghitung kecenderungan profil kabinet Jokowi Jilid II dan komposisi di parlemen.
Konteks itu sangat diperlukan agar tafsiran politik ke bawah nantinya akan jauh lebih mendekati kepastian dibanding, misalnya, kita masih sibuk dengan menghabiskan kopi tuan rumah. Saya duga, usai pemilihan kabinet, dan komposisi parlemen, akan kian jelas jalur permainannya.