Bajawa, Vox NTT- Tim Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia (Pokja MPM) menilai Polres Ngada tidak serius dalam mengusut tuntas kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“Tidak adanya keseriusan dari Unit Tipiter Polres Ngada untuk menangani perkara perdagangan orang, khususnya perkara yang dialami oleh korban Susi Susanti Wangkeng, meksipun sudah ditetapkan dua orang tersangka sebagai pelaku TPPO,” ujar salah satu tim Pokja MPM Greg R. Daeng, S.H, dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Senin (11/01/2021).
Menurut Greg, ketidakseriusan penyidik Unit Tipiter Polres Ngada dibuktikan dengan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dikirimkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) cukup lama, yakni hampir satu tahun lebih, terhitung sejak penetapan tersangka pada tahun 2019 lalu.
Bukti lain yakni penyidik Unit Tipiter Polres Ngada tidak mengirimkan berkas perkara kepada JPU.
Greg menilai penyidik Unit Tipiter Polres Ngada sengaja melempar tanggung jawab kepada Polres Nagekeo dengan alasan Locus Delicite, dan tanpa ada koordinasi dengan JPU.
“Selain itu, Kapolres Ngada dengan sengaja memindahkan penyidik pembantu ke Polsek Riung dengan alasan kedinasan,” tegas kuasa hukum korban perdagangan orang itu.
Greg menambahkan, para tersangka tidak pernah ditahan terhitung sejak status mereka ditetapkan. Apalagi, jabatan Kanit Tipiter Polres Ngada saat ini dikabarkan mengalami kekosongan. Hal ini tentu saja menambah deretan alasan mangkraknya penanganan kasus dugaan TPPO.
Greg mengaku, pihaknya kembali melakukan investigasi dan pendampingan hukum atas perkara dugaan TPPO yang terjadi di wilayah hukum Polres Ngada, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ia menjelaskan, laporan tersebut merupakan hasil koordinasi dengan penyidik, Ipda Jack Sanam, terkait perkembangan hasil penyidikan perkara TPPO yang berlangsung di ruang kerja KBO Polres Nagekeo pada Selasa, 29 Desember 2020 lalu.
“Adapun perkara TPPO dimaksud telah terdaftar dalam registrasi Laporan Polisi Nomor: STPL/81/VIII/2018/NTT/Res Ngada, dan telah menetapkan dua orang tersangka, masing-masing berinisial SM selaku perekrut lapangan asal Mbay dan ER selaku penerima dan pengantar, mantan anggota DPRD Ende,” urai Greg.
Dalam laporan ini, Pokja MPM memaparkan informasi hasil penanganan perkara dan kendala yang dihadapi oleh tim penyidik yang menyebabkan proses penanganan perkara tidak dapat berjalan sebagaimana seharusnya, sejak tahun 2018.
Selain itu, laporan ini juga merupakan bagian dari pertanggungjawaban kepada korban selaku pihak yang menuntut keadilan atas pelanggaran hak-haknya oleh para pelaku dan kepastian hukum penanganan perkara yang dilakukan oleh pihak penyidik Polres Ngada.
Hasil Koordinasi
Dalam rilisnya pula, Greg membeberkan hasil koordinasi Pokja MPM dengan pihak Polres Ngada, antara lain:
Pertama, dalam pertemuan yang dilakukan selama dua jam, Ipda Jack Sanam menjelaskan tentang kasus dugaan perkara TPPO dengan korban SSW, hingga Januari tahun 2021 masih berstatus tahapan penyidikan oleh unit Tipiter Polres Ngada.
Hal ini berarti sudah berlangsung selama 3 tahun terhitung sejak perkara ini dilaporkan.
Kedua, terkait penetapan tersangka, telah dilakukan pada tahun 2019, setelah penyidik yang saat itu dipimpin langsung oleh Ipda Jack Sanam bersama Bripka I Made Parta, mengumpulkan sejumlah bukti permulaan yang cukup dan telah menetapkan dua tersangka yakni SM dan ER.
Ketiga, bahwa perkara a quo pada tahun 2019, secara otoritas ditangani oleh penyidik terpisah/kanit Tipiter yang baru. Hal ini dikarenakan Ipda Jack Sanam ditugaskan untuk mengikuti pendidikan perwira.
Keempat, pada tahun 2019, penyidik pembantu atas nama Bripka I Made Parta, yang sejak awal bersama Ipda Jack Sanam menangani perkara a quo, dipindahkan ke Polsek Riung dengan alasan kedinasan.
Kelima, sepeninggalan Ipda Jack Sanam dan Bripka I Made Parta, berdasarkan perkembangan informasi yang diperoleh pihak kuasa hukum korban dari Ipda Jack Sanam, bahwa pihak penyidik dari Unit Tipiter Polres Ngada baru menaikkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Negeri Ngada pada awal tahun 2020.
Keenam, ketika mengirim SPDP, pihak penyidik Unit Tipiter Polres Ngada tidak menyertakan pelimpahan Tahap Satu yakni berupa berkas perkara. Padahal sudah ada penetapan tersangka yang dilakukan.
Ketujuh, pada tahun 2020, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Ngada mengembalikan SPDP kepada pihak Polres Ngada tanpa adanya arahan ataupun petunjuk yang perlu dilengkapi atau ditindaklanjuti oleh pihak penyidik yang menangani perkara a quo.
Kedelapan, bahwa tidak ada keterangan resmi yang diberikan kepada pihak korban/kuasa hukum oleh penyidik Unit Tipiter Polres Ngada tentang perkembangan informasi penanganan perkara, termasuk alasan mengapa tidak melimpahkan berkas perkara kepada pihak Kejaksaan Negeri Ngada.
Kesembilan, pada tahun 2020, setelah kembali dari diklat keperwiraan, Ipda Jack Sanam dipindahtugaskan ke Polres Nagekeo, seiring dengan pembentukan Resort definitif di wilayah tersebut.
Kesepuluh, setelah bertugas di Polres Nagekeo, pada akhir tahun 2020 Ipda Jack Sanam dikirimkan berkas perkara a quo oleh pihak penyidik Unit Tipiter Polres Ngada.
Alasan pengiriman tersebut yakni untuk kepentingan pelimpahan penanganan perkara dimaksud oleh Pihak Polres Nagekeo dengan pertimbangan locus delictie.
Kesebelas, setelah menerima berkas perkara a quo, Kapolres Nagekeo bersama jajarannya, termasuk Ipda Jack Sanam melakukan gelar perkara guna merespons berkas yang dilimpahkan tersebut.
“Dari hasil gelar perkara didapat kesimpulan bahwa perkara tersebut meskipun locus delictie-nya berada di Nagekeo tetapi masih menggunakan Kop Penyidikan Polres Ngada,” ujar Greg.
Selain itu, lanjut dia, belum ada petunjuk dari JPU Kejakasan Negeri Ngada yang menerangkan bahwa perkara a quo diperbolehkan untuk dilimpahkan penyidikannya ke Polres Nagekeo, hal mana mengingat perkara ini sudah dalam status penyidikan. Sehingga otomatis harus melalui arahan atau petunjuk JPU.
Greg menambahkan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak kuasa hukum korban bahwa saat ini jabatan Kanit Tipiter Polres Ngada yang mana selaku unit yang menangani perkara ini secara langsung, tidak ada atau kosong.
“Akibat dari proses penyidikan yang terkesan tidak serius ini, korban bersama kuasa hukumnya merasa sudah dilanggar haknya untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum atas kejahatan yang terjadi serta membawa kerugian bagi korban,” tegas Greg.
Tuntutan
Atas berbagai kejanggalan tersebut, pihak Greg kemudian mengajukan beberapa poin tuntutan, antara lain:
Pertama, mendesak Kapolres Ngada untuk segera melanjutkan penyidikan Perkara Pidana Nomor: STPL/81/VIII/2018/NTT/Res Ngada dan menetapkannya dalam agenda penanganan perkara prioritas tempo waktu 30 (tiga puluh) hari.
Kedua, mendesak Kapolres Ngada untuk segera menangkap dan menahan dua tersangka yakni SM dan ER.
Ketiga, mendesak Kapolres Ngada untuk segera berkoordinasi dengan Kejakasaan Negeri Ngada guna pelimpahan berkas perkara dan penyerahan tersangka untuk kepentingan proses penyidikan dan penuntutan berdasarkan rujukan pada Surat Telegram Kabareskrim Polri Nomor: ST/225/VII/2017/BARESKRIM tentang Tata Cara Pengiriman SPDP.
Keempat, mendesak Irwasum Mabes Polri dan Irwasda Polda NTT, untuk memeriksa Kapolres Ngada, Kasat Reskrim dan penyidik Perkara Nomor: STPL/81/VIII/2018/NTT/Res Ngada, karena diduga melakukan penggelapan penanganan perkara (undue delay).
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan pihak Polres Ngada belum berhasil dikonfirmasi VoxNtt.com.
Penulis: Ardy Abba